Beranda Opini Investasi di Cilegon; Teteknya untuk Mereka, Bengeknya Bagi Rata

Investasi di Cilegon; Teteknya untuk Mereka, Bengeknya Bagi Rata

Pegiat Literasi dan Pengamat Kebijakan, Nasir Rosyid SH. (dok.pribadi)

Oleh : Moch. Nasir Rosyid SH,
Pegiat Literasi dan Pengamat Kebijakan

Tak dapat dipungkiri, kota kecil yang bernama Cilegon sejak dulu memang sudah terkenal dengan sebutan Kota Industri. Saat ini, nama Cilegon menjadi perbincangan seantero nusantara dengan beredarnya video pertemuan antara beberapa pengusaha dari organisasi pengusaha di Cilegon dengan PT Chengda Engineering Indonesia, kontraktor asal China yang tak lain merupakan kontraktor utama pada proyek milik PT Chandra Asri Petrochemical Tbk untuk pembangunan anak perusahaannya PT Chandra Asri Alkali (CAA).

Sontak saja, video itu menjadi viral lantaran di dalamnya tampak upaya permintaan jatah pekerjaan dengan jumlah nominal yang fantastis—yakni meminta Rp5 triliun tanpa lelang dari oknum pengusaha yang hadir, untuk jatah organisasi profesi atau organisasi pengusaha di Cilegon. Bahkan ada nuansa yang dapat dikategorikan sebagai upaya pemaksaan dan ancaman jika permintaan tersebut diabaikan. Ujungnya, berurusan dengan aparat penegak hukum.

Beragam reaksi pun bermunculan. Ada yang mengatakan bahwa persoalan ini akan berdampak buruk bagi citra pengusaha Cilegon itu sendiri, yang nantinya akan menyandang stigma negatif dan menyulitkan eksistensinya di kemudian hari (Ahmad Yusdi, “Menelisik Dugaan Aksi Premanisme di Cilegon Ancam PSN Prabowo”).

Lantas, bagaimana membaca fenomena ini? Saya cukup membacanya dari cara pandang sederhana: bahwa sebagian pengusaha ini hadir pada saat yang tidak tepat dan dengan cara yang tidak tepat pula. Berkaitan dengan masalah waktu yang tidak tepat, hal ini karena pada saat ini sedang mengemuka isu anti-premanisme yang tengah digalakkan aparat penegak hukum. Nahasnya, dalam forum itu terlihat jelas perilaku yang mencerminkan sikap premanisme secara verbal menurut kacamata penegak hukum.

Adapun cara yang tidak tepat merujuk pada komunikasi yang buruk—yakni permintaan jatah pekerjaan tanpa melalui lelang, ditambah adanya nuansa ancaman jika permintaan diabaikan.

Baca Juga :  Abah Hamid Sang Menara Api

Sungguh pun demikian, tanpa bermaksud menghalangi proses hukum yang sedang berjalan, peristiwa ini sejatinya adalah cermin dari akumulasi kegelisahan para pengusaha lokal khususnya, dan masyarakat Cilegon pada umumnya, yang merasa terpinggirkan oleh derasnya arus investasi di kota ini. Seperti dikatakan Prof. Fauzi Sanusi dalam tulisannya di salah satu media lokal, bahwa di balik kontroversi tersebut ada pesan kebatinan yang lebih dalam: yaitu perasaan terpinggirkan yang dialami oleh sebagian pelaku usaha lokal dalam arus besar investasi yang masuk ke Cilegon.

Jeritan atas keterpinggiran pelaku usaha lokal bukan baru terjadi sekarang. Beberapa tahun silam, saya pernah menulis di salah satu media—yang kemudian saya masukkan dalam buku Cilegon di Persimpangan, dalam tulisan berjudul “Investasi di Cilegon, Berkah atau Musibah?”. Intinya, membanjirnya investasi justru membuat pengusaha lokal merasa terhimpit. Kesempatan usaha, baik di bidang konstruksi maupun transportasi, sebagian besar dikuasai bukan oleh pengusaha lokal. Belum lagi praktik “warung dalam toko”, di mana banyak anak dan cucu perusahaan dibentuk oleh induk usaha untuk memonopoli bisnis di lingkungan mereka. PT Krakatau Posco misalnya, memiliki banyak anak perusahaan, termasuk perusahaan asing (Korea Selatan) yang ikut menumpang. PT Krakatau Steel pun demikian. Ini adalah musibah bagi pengusaha lokal.

Dalam sejumlah kasus, proyek-proyek besar membawa semua kebutuhan logistik dari luar daerah. Bahkan, dalam investasi Penanaman Modal Asing (PMA), kontraktor utama maupun subkontraktor kerap berasal dari negara investor itu sendiri. Meskipun beralih badan hukum menjadi perusahaan Indonesia, tetap saja statusnya adalah PMA. Inilah dilema investasi yang nyata-nyata meninggalkan pelaku usaha lokal. Mereka hanya menjadi penonton di tanah sendiri. Lemahnya keterlibatan pengusaha lokal dalam rantai pasok industri besar menjadi persoalan struktural di Cilegon.

Baca Juga :  Menyoal Program Penyerapan Tenaga Kerja Kota Cilegon

Saya juga pernah menulis opini lain di media ini, berjudul “Dilema Investasi: Antara Membangun di Cilegon dan Membangun Cilegon”. Dalam tulisan tersebut, saya memaparkan dilema yang melingkupi investasi, hingga saya berkesimpulan—meminjam istilah Prof. Fauzi Sanusi—bahwa investasi di Cilegon tidak membangun Cilegon, tetapi hanya membangun di Cilegon.

Contoh konkret dapat dilihat dari soal Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) perusahaan. Meskipun aktivitas ekonomi berlangsung di Cilegon, banyak perusahaan berkedudukan hukum di luar daerah (kantor pusat dan NPWP di kota lain). Akibatnya, potensi pendapatan daerah melalui Dana Bagi Hasil (DBH) PPh Pasal 25/29 menjadi hilang. Jika perusahaan mencatatkan NPWP dan alamat kantor di Cilegon, tentu daerah akan mendapat bagian yang signifikan. Tapi kenyataannya, nihil. Ini adalah bentuk ketidakadilan struktural dalam sistem investasi.

Hal serupa terjadi di sektor ketenagakerjaan. Meski seringkali dicantumkan dalam dokumen perizinan seperti Amdal, implementasinya jauh dari yang diharapkan. Industri yang diharapkan memberdayakan warga lokal justru menghadirkan persoalan. Bukan semata soal kompetensi, melainkan kompetisi. Tenaga kerja lokal seringkali kalah bersaing karena sejak awal sistemnya tidak berpihak. Banyak industri menjalin kerja sama dengan sekolah dan perguruan tinggi dari luar daerah, sehingga lulusan dari luar datang dan langsung bekerja. Masyarakat lokal pun kalah sebelum bertanding.

Ditambah lagi, masuknya tenaga kerja asing dalam jumlah besar, terutama dalam proyek-proyek yang dijalankan perusahaan asing, memicu kecemburuan sosial. Tidak ada transparansi soal kompetensi mereka. Komunikasi menjadi tersumbat, dan masyarakat merasa asing di negerinya sendiri.

Dalam kondisi keterhimpitan ini, resistensi masyarakat lokal akan terus muncul. Dan bentuknya bisa macam-macam, dari unjuk rasa, tekanan, hingga perilaku seperti yang kita lihat dalam kasus PT CAA.

Baca Juga :  Tanggapan Sawala Budaya: Kedepankan Substansi, Bukan Prosedur

Lantas, bagaimana kita sebagai masyarakat dan pengusaha lokal menyikapi semua ini?

Pertama:

Peristiwa yang terjadi di PT CAA bisa menjadi pelajaran bahwa dalam mengupayakan keterlibatan usaha, dibutuhkan komunikasi yang baik. Apalagi di tengah gencarnya kampanye anti-premanisme dan keterbukaan digital, penyampaian yang salah bisa menjadi bumerang, bahkan memicu kriminalisasi.

Kedua:

Peristiwa ini juga menjadi momentum refleksi bagi pemerintah pusat maupun investor. Bahwa ketimpangan ekonomi di daerah, baik dari sisi keterlibatan pengusaha lokal maupun tenaga kerja lokal, adalah masalah nyata. Perlu ada katup penyelamat yang menjembatani ketimpangan ini. Dan katup itu bernama: NEGARA.

Ketiga:

Apa yang dialami oleh oknum pengusaha lokal yang kini berurusan dengan hukum, bisa dilihat sebagai “tumbal” dari sistem yang tidak adil. Mereka datang di waktu yang salah dan dengan cara yang salah. Tapi substansinya jelas: mereka memperjuangkan ruang hidup dalam sistem investasi yang berat sebelah.

Akhirnya, perumpamaan yang paling pas untuk menggambarkan situasi ini seolah kita sedang mengurus sesuatu yang serba kompleks, atau istilah lokalnya ngurus “Tetek Bengek”, tapi yang didapat adalah “Teteknya untuk mereka, bengeknya bagi rata”. Kalimat ini menggambarkan betapa investasi di Cilegon lebih banyak memberi keuntungan kepada orang luar, sementara beban dan eksesnya dibagi rata untuk masyarakat lokal.

Namun di era seperti sekarang, ungkapan lain juga berlaku: “Ngomong salah, tidak ngomong pun salah”. Dan pada titik ini, masyarakat lokal bingung harus berbuat apa. (*)

 

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News