Beranda Bisnis Importasi Baja Masih Banjiri Pasar Dalam Negeri

Importasi Baja Masih Banjiri Pasar Dalam Negeri

Produk Baja PT Krakatau Steel - foto istimewa Torto.id

CILEGON – Kebijakan pengendalian impor besi dan baja melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 110 Tahun 2018 tentang Ketentuan Impor Besi atau Baja, Baja Paduan dan Produk Turunannya dinilai penting, di tengah masih membanjirnya produk besi dan baja murah dari luar negeri yang hingga saat ini jumlahnya masih terus mengalami peningkatan.

Dihimpun dari data The South East Asia Iron and Steel Institute (SEAISI) pada tahun 2018, jumlah importasi baja di Indonesia mencapai 7,6 juta ton. Bahkan komoditas besi dan baja tercatat sebagai komoditi impor terbesar ke-3, yaitu sebesar 6,45% dari total importasi dengan nilai 10,25 Milyar USD (Badan Pusat Statistik, 2018).

Yerry Idroes, Executive Director Asosiasi Industri Besi dan Baja Nasional/The Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) mengungkapkan, kenaikan importasi baja dari tahun 2018 hingga kuartal 1 2019 masih cukup tinggi. Kenaikan ini tidak hanya terjadi pada produk baja hulu seperti Hot Rolled Coil/Plate, Cold Rolled Coil dan Wire Rod, tetapi juga terjadi pada produk baja hilir seperti halnya Coated Sheet (produk baja lapis) yang saat ini kondisinya cukup mengkhawatirkan dimana volume impornya sangat tinggi.

“Data dari Badan Pusat Statistik, pada Januari—Maret 2019, jumlah impor besi dan baja meningkat 14,75% secara year on year menjadi 2,76 Milyar USD. Kenaikan impor produk tersebut menjadi yang terbesar keempat”, ungkap Yerry, Rabu (10/7/2019).

Salah satu faktor yang membuat importasi baja pada kuartal 1 2019 meningkat adalah masih terdapatnya kuota importasi untuk kategori baja karbon maupun baja paduan lainnya dari Surat Persetujuan Impor (SPI) yang telah diterbitkan sebelum diberlakukannya Permendag Nomor 110/2018 pada 20 Januari 2019 lalu. Dimana kuantitas impor baja paduan lainnya yang masuk ke Indonesia melalui praktek circumvention (pengalihan pos tarif) menunjukkan peningkatan yang signifikan. Circumvention adalah praktik pengalihan kode HS dari baja karbon ke baja paduan. Caranya adalah dengan menambah sedikit unsur paduan seperti boron atau chromium ke dalam baja sehingga produk baja tersebut dapat dikategorikan sebagai baja paduan.

“Pada tahun 2018 untuk jumlah importasi baja paduan lainnya/alloy steel mencapai 2,9 juta ton (SEAISI, 2018). Hal tersebut telah membuat industri baja nasional semakin terhimpit dan merugi karena produk impor baja paduan lainnya ikut mengisi pangsa pasar baja karbon yang seharusnya dapat diisi oleh produk dalam negeri,” kata Yerry.

Jumlah importasi baja paduan lainnya hingga kuartal 1 2019 dari data SEAISI menunjukan bahwa pada Januari—Maret 2019, jumlah impor baja dari China untuk kategori produk baja paduan Hot Rolled Coil meningkat 83% secara year on year atau sebesar 147 ribu ton. Sedangkan jumlah impor produk baja paduan Cold Rolled Coil meningkat secara tajam hingga 302% secara year on year atau sebesar 53 ribu ton.

Pengalihan pos tarif dari baja karbon menjadi baja paduan pada importasi produk-produk baja telah mengganggu penjualan produsen dalam negeri karena produk-produk baja paduan tersebut digunakan oleh pengguna baja karbon, sehingga menyebabkan pangsa pasar produsen dalam negeri semakin menyusut yang diambil alih oleh produk baja paduan impor.

Selain merugikan produsen baja nasional, penyalahgunaan kategori baja paduan tersebut juga merugikan negara, karena importir tidak membayar bea masuk (MFN/BMTP/BMAD) ataupun membayar bea masuk tetapi lebih rendah dari yang seharusnya.

Yerry menuturkan, pengendalian importasi besi dan baja harus menjadi tanggung jawab semua pihak, termasuk pemerintah, asosiasi maupun produsen nasional harus berkomitmen dan berperan aktif dalam upaya mengendalikan importasi besi dan baja yang telah menjadi salah satu faktor defisitnya neraca perdagangan RI.

“IISIA bersama produsen baja nasional telah menyampaikan permohonan terkait dengan informasi/data Pertimbangan Teknis dan SPI atas baja paduan yang telah dirilis setelah berlakunya Permendag Nomor 110/2018 sebagai bahan analisa dan evaluasi bersama terkait dampak negatif dari jumlah kuota impor baja. Kami berharap pemerintah dapat merespon segera pengajuan kami, dimana hal tersebut telah diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP)”, tambah Yerry.

Dalam Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP tertulis dalam Pasal 4 (3) bahwa Setiap Pemohon Informasi Publik berhak mengajukan permintaan Informasi Publik disertai alasan permintaan tersebut dan Pasal 7 (1) bahwa Badan Publik wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan Informasi Publik yang berada di bawah kewenangannya kepada Pemohon

Informasi Publik.

Industri baja merupakan induk industri (mother of industry) yang memberikan efek ganda bagi sektor-sektor industri lainnya baik industri hulunya maupun industri hilir. Tingginya jumlah importasi produk baja dan mensubstitusi produk baja domestik, akan menyebabkan rendahnya utilisasi industri nasional dan melemahkan daya saing industri domestik serta mengancam kekuatan pertahanan suatu negara, mengingat baja merupakan bahan baku utama untuk produksi peralatan pertahanan dan keamanan, sehingga keberlangsungannya merupakan kepentingan nasional.

Di setiap negara, industri baja merupakan tulang punggung perekonomian bangsanya. Jika suatu negara memiliki kebijakan yang sangat mendukung industri baja domestiknya, maka pertumbuhan ekonomi negara tersebut pun akan meningkat dengan baik.

“Dampak yang akan terjadi jika industri baja nasional mengalami kebangkrutan akan menyebabkan multiplier effect bagi seluruh industri di Indonesia. Di antaranya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal, mempercepat deindustrialisasi, membesarnya defisit neraca perdagangan, menurunnya penerimaan pajak dan menurunnya minat investasi di sektor industri baja,” tutup Yerry. (Man/Red)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini