Beranda Gaya Hidup Hustle Culture: Ketika Kerja Keras Menjadi  Beban bagi Kesehatan

Hustle Culture: Ketika Kerja Keras Menjadi  Beban bagi Kesehatan

Ilustrasi - foto istimewa gobagi.com

DALAM beberapa tahun terakhir, istilah hustle culture semakin sering terdengar, terutama di kalangan generasi muda yang berada dalam dunia kerja atau merintis usaha. Hustle culture merujuk pada gaya hidup yang mengagungkan kerja keras tanpa henti, di mana seseorang merasa perlu untuk terus produktif dan sibuk demi mencapai keberhasilan—sering kali dalam bentuk karier cemerlang, pengakuan sosial, atau kekayaan materi.

Budaya ini berkembang seiring dengan kemunculan tren kewirausahaan, kemajuan teknologi, dan media sosial yang memperlihatkan kehidupan ideal penuh pencapaian. Sosok-sosok sukses yang memamerkan rutinitas padat dan kerja tanpa lelah menjadi panutan, sehingga muncul anggapan bahwa keberhasilan hanya dapat diraih dengan bekerja lebih keras dan lebih lama dari orang lain. Dalam hustle culture, bekerja hingga larut malam, mengorbankan akhir pekan, dan mengabaikan waktu istirahat dianggap sebagai bentuk dedikasi dan semangat pantang menyerah.

Namun, di balik semangat positif yang dibawa oleh hustle culture, tersembunyi dampak negatif yang kerap diabaikan. Ketika seseorang terus-menerus memaksakan diri untuk produktif, tubuh dan pikiran akan mengalami kelelahan yang tidak terlihat secara langsung. Kurangnya waktu tidur, stres berkepanjangan, serta tekanan untuk selalu “berhasil” dapat menyebabkan gangguan fisik seperti kelelahan kronis, gangguan tidur, masalah pencernaan, hingga penurunan sistem kekebalan tubuh.

Lebih jauh, dampak terhadap kesehatan mental juga sangat serius. Banyak orang yang hidup dalam tekanan untuk terus bersaing dan merasa tidak pernah cukup, meskipun sudah bekerja sekeras mungkin. Rasa cemas, overthinking, perasaan gagal, dan depresi menjadi bayang-bayang dari budaya kerja tanpa jeda ini. Dalam beberapa kasus, individu merasa bersalah saat beristirahat atau melakukan aktivitas santai, karena merasa tidak produktif.

Hustle culture menciptakan ilusi bahwa nilai seseorang diukur dari seberapa sibuk dan sukses mereka secara materi. Padahal, keberhasilan tidak selalu harus diraih dengan mengorbankan kesehatan fisik dan mental. Keseimbangan hidup—antara kerja, istirahat, relasi sosial, dan kegiatan yang menyenangkan—justru lebih berkelanjutan dalam jangka panjang. Menghargai proses, memberi ruang untuk jeda, dan memahami batas kemampuan diri adalah langkah penting untuk keluar dari jerat hustle culture yang melelahkan.

Baca Juga :  Langkah Realistis Mulai Konsisten Olahraga Bagi Kamu Malas Gerak

Dalam dunia yang semakin cepat dan kompetitif, penting bagi kita untuk menyadari bahwa istirahat bukanlah kemalasan, melainkan bagian penting dari produktivitas yang sehat. Mengutamakan kesehatan dan kebahagiaan tidak akan menghalangi kesuksesan, melainkan memperkuat fondasinya.

Tim Redaksi

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News