Oleh : Fauzi Sanusi
Akademisi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Latar Belakang : Kontras yang Menggelitik
Sebagai kota industri strategis nasional, Cilegon kerap dijuluki “Kota Sejuta Pabrik.” Dari pabrik baja raksasa hingga kompleks petrokimia berskala global. Denyut nadi ekonomi nasional terasa berdetak kencang di wilayah ini. Namun, di balik siluet cerobong dan pipa-pipa industri yang menjulang, tersimpan sebuah pertanyaan fundamental yang jarang diajukan secara terbuka: “Siapa sesungguhnya yang menikmati nilai tambah dari ekosistem industri ini?”
Pertanyaan ini bukan retorika kosong. Selama lebih dari satu dekade saya berkecimpung dalam pendampingan UMKM dan pemerhati hilirisasi industri di berbagai daerah industri, termasuk Cilegon. Saya menyaksikan langsung bagaimana nilai tambah ekonomi justru lebih banyak terakumulasi di luar daerah, sementara masyarakat lokal dan pelaku usaha kecil di sekitar kawasan industri justru berada di luar ekosistem industri.
Cilegon memang mencatatkan PDRB tinggi dan angka investasi mengesankan. Tapi jika kita telusuri lebih dalam, kontribusi pelaku lokal—khususnya UMKM—masih sangat minim dalam rantai nilai industri besar. Mereka belum sepenuhnya terhubung ke ekosistem produksi, apalagi menjadi bagian dari hilirisasi produk bernilai tinggi seperti plastik teknik, kemasan industri, atau produk turunan petrokimia lainnya.
Padahal, inilah esensi dari hilirisasi sejati: Bukan hanya mengolah bahan baku jadi produk jadi, tetapi memastikan bahwa proses tersebut menciptakan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat di sekitar Lokasi pabrik. Pertanyaannya kini adalah: Bagaimana mewujudkan hilirisasi petrokimia yang inklusif dan berpihak pada rakyat Cilegon sendiri?
Ketimpangan Rantai Nilai
Jika kita berjalan di sepanjang kawasan industri Kota Cilegon—dari Ciwandan, Gerem hingga Suralaya, dari Indonesia Power, Krakatau Steel hingga kompleks petrokimia seperti Chandra Asri dan Lotte Chemical—kita akan menyaksikan lanskap industri yang begitu masif. Kota ini tidak diragukan lagi adalah tulang punggung industri nasional. Tapi di balik gegap gempita investasi dan produksi, ada satu pertanyaan yang jarang disentuh: berapa besar manfaat nyata yang dirasakan oleh masyarakat lokal?.
Mayoritas industri besar di Cilegon bergerak di sektor hulu dan menengah. Mereka menghasilkan produk bernilai tinggi seperti ethylene, propylene, polyethylene, dan resin—komponen dasar dari berbagai kebutuhan modern. Namun, alih-alih mendorong pertumbuhan sektor hilir di kota Cilegon, produk-produk ini justru lebih banyak dikirim keluar daerah atau diekspor langsung, untuk kemudian diolah menjadi barang jadi di luar ekosistem lokal.
Di sisi lain, UMKM—yang seharusnya menjadi motor ekonomi rakyat—belum terhubung ke dalam ekosistem hilirisasi ini. Mereka lebih banyak bergerak di sektor informal, konsumsi, dan perdagangan harian yang jauh dari jangkauan industri besar. Bahkan untuk kebutuhan sederhana seperti kemasan plastik, komponen penunjang industri, atau produk turunan rumah tangga, UMKM lokal belum dilibatkan secara langsung.
Hal ini menciptakan ketimpangan rantai nilai yang sangat nyata di tengah gemerlapnya industrialisasi Cilegon:
• Nilai tambah ekonomi tercipta, tetapi tidak menetap di kota ini. Produk petrokimia diolah dan dinikmati keuntungannya di luar, sementara kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan kesejahteraan pelaku lokal masih minim.
• Pabrik tumbuh pesat, tetapi pelaku usaha kecil justru tersendat. UMKM di sekitar kawasan industri mengalami keterbatasan akses bahan baku, teknologi, dan akses pasar.
• Lapangan kerja memang tersedia, tetapi belum menyerap potensi lokal secara maksimal. Banyak warga Cilegon hanya bekerja sebagai tenaga kasar atau non-strategis, sementara posisi teknis dan manajerial sering diisi oleh tenaga kerja dari luar daerah.
Sebagai seseorang yang telah banyak mendampingi UMKM, saya melihat tantangan ini bukan sekadar isu teknis, akan tetapi ini adalah masalah desain kebijakan dan keberpihakan. Jika tidak segera diintervensi, maka hilirisasi hanya akan menjadi jargon ekonomi makro yang indah, tapi hampa makna sosial.
Peluang Besar
Di balik ketimpangan yang terjadi, Kota Cilegon sebenarnya menyimpan peluang strategis yang belum dimanfaatkan secara optimal: hilirisasi petrokimia berbasis UMKM. Ini bukan sekadar konsep ekonomi, tetapi jalan keluar kongkret untuk menciptakan pertumbuhan yang inklusif, adil, dan berkelanjutan.
Cilegon memiliki modal awal yang sangat kuat:
• Ketersediaan bahan baku petrokimia seperti polyethylene (PE), polypropylene (PP), PVC, dan resin dalam volume besar.
• Infrastruktur industri dan logistik yang telah mapan.
• Permintaan pasar yang terus meningkat di berbagai sektor.
Namun, semua itu akan tetap menjadi peluang yang menggantung di udara jika pelaku usaha lokal tidak diberi akses dan ruang keterlibatan langsung. Justru di sinilah UMKM bisa mengambil peran penting. Produk turunan petrokimia tidak selalu membutuhkan teknologi canggih. Banyak di antaranya justru sangat mungkin dikembangkan oleh UMKM, misalnya:
• Peralatan rumah tangga
• Kemasan makanan dan minuman
• Botol kosmetik dan farmasi
• Mainan edukatif
• Produk pembersih rumah tangga
Bayangkan jika 1% saja dari total output petrokimia Cilegon dialokasikan untuk pengembangan sektor hilir berbasis UMKM lokal. Efeknya akan luar biasa: banyak lapangan kerja akan tumbuh, berkembangnya puluhan usaha baru, produk Cilegon menembus pasar nasional, dan masyarakat ikut memiliki “saham sosial” dalam industrialisasi kotanya sendiri.
Inovasi Strategis
Menjawab tantangan dan memanfaatkan peluang tersebut, Cilegon memerlukan model hilirisasi yang inklusif dan sistemik. Berikut inisiatif strategis yang dapat dikembangkan:
1. Kemitraan Anchor-Mitra
Perusahaan besar menyediakan bahan baku, pelatihan, dan jaminan pasar; UMKM lokal menjadi produsen barang hilir dari hasil petrokimia tersebut.
2. Pusat Inovasi dan Inkubasi UMKM Petrokimia
Fasilitas bersama untuk produksi, pelatihan teknis, R&D, dan sertifikasi yang terintegrasi dengan kawasan industri besar.
3. Regulasi Wajib Keterlibatan UMKM
Peraturan daerah yang mendorong keterlibatan UMKM secara konkret dalam rantai pasok industri besar dan menjadikan program CSR lebih berdampak langsung.
4. Digitalisasi dan Platform Pasar
Membangun sistem digital B2B yang mempertemukan UMKM dengan permintaan industri, serta memfasilitasi ekspansi pasar keluar daerah.
Rekomendasi Kebijakan Lokal
Untuk mendukung itu semua, berikut kebijakan yang perlu diambil:
• Perda tentang Hilirisasi Inklusif dan kemitraan industri–UMKM
• Zona khusus UMKM petrokimia dengan fasilitas produksi bersama
• Skema pelatihan vokasi & sertifikasi tenaga kerja lokal
• Kredit usaha rakyat (KUR) sektor hilir, insentif pajak, dan prioritas pengadaan pemerintah
• Digitalisasi rantai pasok, e-marketplace industri lokal, dan pameran UMKM.
Penutup: Saatnya Nilai Tambah Tinggal di Kota Ini
Cilegon tidak kekurangan pabrik, bahan baku, maupun jaringan logistik. Tapi selama UMKM dan warga lokal tidak terhubung secara adil ke dalam rantai produksi, maka nilai tambah ekonomi hanya akan singgah sebentar lalu pergi meninggalkan kota ini.
Kontribusi industri besar terhadap PAD pun masih belum sebanding dengan skala operasi mereka. Banyak keuntungan dan perputaran modal tercatat di luar daerah, sementara kota ini masih menghadapi keterbatasan fiskal untuk membiayai pembangunan dan pelayanan publik.
Kini saatnya Cilegon membalik arah. Hilirisasi petrokimia tidak hanya soal teknologi, tapi soal keadilan. Dengan desain kebijakan yang berpihak, kemitraan yang setara, dan strategi yang inklusif, hilirisasi bisa menjadi gerakan sosial yang memuliakan manusia, bukan hanya mengolah bahan mentah. (*)