
KAB. SERANG – Di sebuah rumah sederhana di sudut Kampung Cikuray Kedondong, Desa Rancasanggal kecamatan Cinangka kabupaten Serang, duka begitu lekat terasa. Fahmi Sahab (31), paman korban, mengenang keping-keping cerita keponakannya, Siti Amelia (19), gadis ceria yang selama ini dikenal tertutup perihal masalah pribadi.
Keluarga hanya mengetahui sekelumit cerita bahwa Siti Amelia tengah menjalin cinta. “Dia itu anaknya ceria, kalau ada masalah disimpan sendiri. Enggak pernah cerita. Tapi kalau soal pacar, semua tahu,” tutur Fahmi lirih, Senin (21/4/2025), kepada BantenNews.co.id.
Siti, putri satu-satunya dari tiga bersaudara. Ia dijemput dari rumah sang kakek di Kampung Palingping, Kecamatan Padarincang. Alasan ke pasar untuk sekadar membeli bakso, ternyata menjadi langkah terakhirnya meninggalkan rumah. Padahal niat awalnya hanya melayat, sesuai janji yang sudah disepakati bersama sang pelaku.
“Dia dijemput di rumah kakeknya. Bilangnya keluar sebentar, ternyata begini,” ucap Fahmi, suaranya berat.
Siti dan pelaku pernah terikat dalam hubungan asmara selama dua tahun, meski telah putus empat bulan lalu. Hubungan keduanya masih terjalin dalam komunikasi baik, yang bagi keluarga tak pernah menunjukkan gelagat mencurigakan.
“Kalau perubahan enggak ada. Dia paling cerita pengen kerja, bantu orang tuanya di rumah. Lulus SMP, sehari-harinya bantu bersihkan telur, karena orang tuanya sibuk di sawah,” tambahnya.
Hari-hari pencarian itu berat. Sejak kepergian Siti 13 April 2025 kemarin, pihak keluarga sudah gelisah. Tak ada kabar, tak bisa dihubungi. Kekhawatiran berubah jadi firasat buruk.
“Minggu sore jam enam kita mulai cari. Telepon sudah enggak aktif. Firasat kita sudah enggak enak,” kenang Fahmi.
Senin pagi, 14 April 2025, keluarga pun menyambangi rumah pelaku, Mulyana. Dengan wajah tenang, pria itu berdalih telah mengantar Siti ke Pasar Padarincang, menemui tiga orang temannya.
“Kita sempat percaya. Dia itu sikapnya biasa saja. Tapi hati kecil saya tetap enggak yakin,” katanya.
Tak mau tinggal diam, Fahmi dan beberapa keluarga menyusuri wilayah di Kecamatan Gunung Sari pada Jumat 18 April 2025 siang, berharap mendapat kabar tentang Siti. Warga sempat mengingat Mulyana, namun tak begitu dekat mengenalnya.
Sejak kabar kehilangan Siti Amelia menyeruak, keluarga tak tinggal diam. Malam-malam panjang mereka habiskan mencari jejak sang gadis, bertanya ke warga, menyusuri pasar, hingga ke pelosok kampung.
Namun, di balik pencarian itu, ada kekecewaan yang sempat dirasakan keluarga terhadap aparat kepolisian di tingkat bawah. Sektor kecamatan tepatnya.
“Hari Senin saya langsung ke Polsek Padarincang,” tutur Fahmi, sang paman. Dengan hati berdebar dan harapan besar, ia menemui petugas piket di sana. Namun, kenyataan berkata lain.
“Katanya di sini enggak ada unit yang tangani kasus kayak gini. Disuruh ke Polres,” katanya lirih.
Dengan keterbatasan kendaraan dan jarak yang jauh ke pusat kota menjadi penghalang saat itu. Tidak ada pendampingan dari Polsek Padarincang, membuat keluarga harus berusaha sendiri dalam ketidakpastian. Rasa lelah bercampur cemas, karena waktu berjalan, sementara Siti belum juga ditemukan.
Hari-hari berikutnya jadi saksi betapa keluarga harus menggantungkan harapan pada pencarian sendiri, dibantu kabar dari warga.
Hingga akhirnya, informasi itu datang dari masyarakat tentang penemuan sesosok tubuh perempuan di sekitar wilayah Gunung Sari. Tubuh yang tak utuh, tanpa kepala, tanpa identitas.
“Kita dapat kabar waktu di Ciomas. Warga bilang ada mayat ditemukan. Disuruh balik, siapa tahu keluarga. Ternyata benar,” lirih Fahmi.
Informasi tersebut diteruskan sampai kepada keluarga, dan mereka bergegas menuju lokasi. Fahmi ingat betul suasana parkiran di sekitar lokasi penemuan (Jenazah) dipenuhi kerumunan, jenazah sudah dibungkus rapi, tak bisa dikenali.
“Ada mayat perempuan ditemukan tanpa kepala, tanpa tangan. Saya langsung gemetar, kayaknya cocok. Cocok banget sama firasat saya,” ucapnya.
Keluarga mencoba melihat, namun kondisi jasad membuat mereka tak sanggup. Polisi menyampaikan bahwa jenazah akan diidentifikasi lebih lanjut di Rumah Sakit Bhayangkara.
Fahmi juga mengungkap bahwa pihak kepolisian kemudian memberi informasi bahwa anggota tubuh belum ditemukan secara utuh. “Satu lengannya belum ketemu,” ucapnya.
Proses penyelidikan dilanjutkan oleh Polres Serang, yang akhirnya berhasil menangkap pelaku. Mulyana (23) pria berprofesi penjual ayam potong, yang sebelumnya mengelak saat didatangi keluarga, terbukti menjadi pelaku utama dalam kasus ini.
Keluarga pun kembali mendatangi kantor polisi, menuntut agar kasus ini ditangani seadil-adilnya.
Di hadapan aparat, Fahmi dan keluarga menegaskan harapan mereka. Bukan sekadar hukuman, tapi keadilan yang setimpal.
“Ini harus dihukum mati. Atau seumur hidup, jangan sampai ada korban lain. Dia itu enggak memanusiakan manusia,” tegas Fahmi kepada petugas.
Kini, keluarga hanya bisa menunggu. Menunggu kepastian hukum, menanti satu potong tubuh yang masih hilang, dan berharap arwah Siti Amelia bisa beristirahat dengan tenang.
Di balik kisah getir ini, nama Mulyana (23) mencuat sebagai pelaku keji. Pria yang dulu dikenal sebagai penjual ayam potong itu, ternyata adalah kekasih Siti. Hubungan yang terjalin selama dua tahun, berakhir dengan kebencian dan amarah yang mewujud dalam tindakan tak berperikemanusiaan.
Menurut keterangan Komisaris Salahuddin, Kepala Satreskrim Polresta Serang Kota, tragedi itu bermula ketika Siti, dalam keadaan penuh kecemasan, meminta Mulyana untuk menikahinya. Ia menyampaikan bahwa dirinya tengah mengandung, dan harapan pernikahan itu menjadi satu-satunya pelindung harga dirinya. Namun, desakan demi desakan itu justru memancing amarah.
Usai makan bakso 13 April 2025 siang, mereka melanjutkan perjalanan ke Peninjauan, lalu ke kawasan Gunung Kupa, Gunung Sari. Di sepanjang perjalanan itulah, harapan Siti perlahan berganti ketakutan.
“Pelaku berdalih ingin membicarakan soal kehamilan di kebun karet yang sepi,” tutur Salahuddin lirih.
Di balik rimbun pepohonan, di kebun yang hening tanpa saksi, Mulyana mengakhiri hidup Siti dengan sehelai kerudung. Ia mencekik, memastikan nyawa itu benar-benar lenyap, lalu pulang untuk mengambil sebilah golok, seakan dendamnya belum tuntas.
Hasil penyelidikan tim forensik RS Bhayangkara Polda Banten, yang dipimpin Dr. Donald Rinald, membuktikan betapa kejamnya perbuatan itu. Potongan tubuh yang ditemukan terdiri dari kepala, tungkai kanan dan kiri bagian atas dan bawah. Sementara kedua lengan masih lenyap entah di mana.
“Pada potongan tubuh, tampak tepi luka akibat benda tajam. Dari pemeriksaan uji histopatologi, kami temukan reaksi peradangan di sekitar luka, menandakan korban masih hidup saat kekerasan itu terjadi,” ungkap Dr. Donald.
Bahkan, tutur dia, luka bakar ditemukan di wajah dan bokong Siti. Hasil uji forensik memperlihatkan adanya jelaga di saluran pernapasan, bukti bahwa Siti masih bernapas saat tubuhnya dijilat api. Luka yang tak hanya merobek tubuh, tapi juga hati semua yang mengenalnya.
Isu kehamilan yang jadi alasan utama kekejian itu pun terbantahkan. Otopsi menyatakan rahim Siti kosong. Tidak ada janin, tidak ada kehidupan lain di dalam dirinya saat maut menjemput.
“Saat kami periksa, rahim korban kosong. Tidak ada tanda-tanda kehamilan,” jelas Donald.
Kepala korban ditemukan terakhir pada Sabtu malam, setelah sebelumnya potongan tubuh lain ditemukan di lokasi terpisah. Wajah yang dulu dipenuhi tawa itu kini bisu, diam, menyisakan luka yang tak bisa diukur waktu.
Keluarga Siti, yang sejak awal mencarinya tanpa lelah, kini hanya bisa menunggu, menanti kepastian hukum bagi pelaku, menanti potongan tubuh yang masih hilang, menanti tenangnya arwah gadis muda itu. Sang paman, Fahmi, tak henti menyuarakan harapan.
“Keadilan. Kalau bisa dihukum mati. Dia enggak memanusiakan manusia,” ujar Fahmi di hadapan aparat.
Tragedi ini bukan sekadar kasus pembunuhan. Ini kisah tentang cinta yang salah arah, tentang seorang gadis yang berharap diterima, tentang seorang lelaki pengecut yang memilih menjadi algojo. Tentang betapa hidup bisa direnggut begitu saja, di antara daun-daun karet yang gemetar.
Dan kini, nama Siti Amelia abadi dalam ingatan mereka yang mencintainya, menjadi pelajaran bahwa di balik senyum seseorang, mungkin tersimpan kesedihan yang tak terucap.
Di Padarincang, duka itu masih menggantung di udara, bersama bau tanah dan batang-batang karet yang bisu menyimpan rahasia.
Penulis: Rasyid
Editor: Usman Temposo