Beranda Lipsus Ngembang: Sebuah Tradisi Warga Ciuyah Lebak Syukuri Panen Melimpah

[Feature] Ngembang: Sebuah Tradisi Warga Ciuyah Lebak Syukuri Panen Melimpah

Warga Desa Ciuyah, Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak, menggekar tradisi 'Ngembang'. (Istimewa)

LEBAK – Hiruk pikuk kehidupan masyarakat Desa Ciuyah, Kecamatam Sajira, Kabupaten Lebak, tampak berbeda dengan hari-hari normal lainnya. Ratusan warga tampak berbondong-bondong mendatangi makam leluhur yang ada di desa tersebut.

Namun, tak ada raut wajah yang sedih, melainkan tampak bahagia. Yang membuat lebih unik lagi, kedatangan mereka bukan untuk melakukan proses pemakan, malah banyak warga membawa hasil panen berupa padi. Ya hari itu, warga  menggelar tradisi budaya masyarakat sekitar yakni ‘Ngembang’.

Secara harafiah, ‘Ngembang’ adalah sebuah kata berimbuhan yang berasal dari kata dasar kembang. Kembang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) didefinisikan sebagai bunga atau mekar dan mengembang tergantung dari objek pembicaraan.

Ngembang juga dapat diartikan sebagai upacara tabur bunga. Seperti penjelasan di atas, bagi warga Ciuyah, ‘Ngembang’ merupakan sebuah tradisi turun-menurun sebagai bentuk rasa syukur atas hasil panen yang melimpah.

Hasan, ketua adat setempat mengatakan, tradisi Ngembang ini merupakan acara tahunan yang dilakukan sesuai panen raya.

Tradisi budaya itu dilakukan sebagai bentuk syukur atas melimpahnya hasil bumi setelah panen raya yang dilakukan setiap satu tahun sekali.

“Acara Ngembang tersebut diawali dengan berziarah ke makam para leluhur yang dikeramatkan sebagai tokoh besar di kampung. Dengan membawa sesaji berupa hasil panen,” kata Hasan, saat dihubungi, Senin (19/5/2025).

“Para warga melakukan doa bersama dan menaburkan bunga di atas makam leluhur, sebagai bentuk penghormatan dan keberkahan,” sambung Hasan.

Ia mengungkapkan, ritual tabur bunga atau ngembang ini merupakan sebuah warisan budaya turun-temurun yang sudah ada sejak dari nenek moyang mereka yang mengandung pesan moral serta nilai-nilai kearifan lokal.

“Ritual ini bentuk rasa syukur kami kepada Tuhan Yang Maha Esa ketika habis panen yang kedua, karena kita tanam padinya tanam padi yang umur enam bulan, padi yang tinggi. Jadi panen yang pertama kita tidak melakukan ritual ini, jadi panen kedua barulah kita melakukan acara ritual seperti ini namanya adat ngembang,” ujarnya.

Baca Juga :  Profil Abah Salim, Ketua Kadin Cilegon Jadi Tersangka Kasus Minta Proyek Rp5 Triliun Tanpa Lelang di PT CAA

Ia menambahkan, tradisi Ngembang setelah panen raya ini menjadi bukti bahwa kearifan lokal tetap terjaga baik oleh masyarakat di desa kami.

“Selain menjaga kearifan lokal, acara Ngembang juga menjadi sarana spiritual dan sosial yang dapat mempererat rasa kebersamaan antar masyarakat desa,” ucapnya.

Penulis: Sandi Sudrajat

Editor: Tb Moch. Ibnu Rushd

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News