
TANGERANG — Kota Tangerang akhir pekan ini tak hanya ramai oleh lalu lintas dan aktivitas warga, tapi juga oleh semangat budaya yang kian hidup. Taman Elektrik dipenuhi lautan jaket hitam khas, tawa akrab, dan alunan musik tradisional. Forum Betawi Rempug (FBR) merayakan usia ke-24—dan mereka tak datang hanya untuk nostalgia.
Di tengah suasana meriah, Wali Kota Tangerang, Sachrudin berbicara bukan sekadar sebagai pejabat, tapi sebagai warga yang menyaksikan langsung perubahan kotanya. Ia menyebut FBR bukan sekadar organisasi kemasyarakatan, melainkan “penjaga nilai dan budaya” di tengah derasnya arus modernisasi.
“FBR bukan cuma kumpul-kumpul orang Betawi. Mereka ini mitra nyata pemerintah dalam menjaga keamanan lingkungan, mendampingi warga yang butuh bantuan, dan tetap berdiri tegak menjaga jati diri lokal,” ujar Sachrudin, Minggu (03/08/2025), disambut sorakan semangat dari para anggota FBR se-Jabodetabek.
Gubernur Banten Andra Soni yang turut hadir pun menambahkan, bahwa keberadaan ormas seperti FBR tak bisa dipandang sebelah mata. Mereka adalah kekuatan sosial yang nyata, yang tak hanya bergerak saat kamera menyala, tapi juga saat warga membutuhkan bantuan diam-diam.
FBR selama ini dikenal aktif turun ke lapangan—mengamankan lingkungan, membantu masyarakat saat banjir, hingga menggelar santunan rutin untuk anak yatim dan warga kurang mampu. Sebuah peran yang menurut Sachrudin harus terus dikuatkan: “Semakin dewasa usia FBR, kami berharap semakin bijak juga dalam menyikapi dinamika sosial.”
Dalam kesempatan itu, Sachrudin juga mengajak seluruh keluarga besar FBR menyambut perayaan 80 tahun Indonesia merdeka bukan dengan euforia semata, tapi dengan aksi nyata. Kerja bakti, kegiatan sosial, dan pelestarian budaya lokal, kata dia, adalah bentuk cinta tanah air yang paling membumi.
“Banyak yang bisa bicara soal nasionalisme, tapi FBR menunjukkannya lewat tindakan. Dan itu yang kami hargai,” tegasnya.
Di akhir acara, bendera FBR berkibar berdampingan dengan merah putih. Sebuah simbol bahwa budaya lokal dan semangat kebangsaan bisa berjalan bersama—bukan saling menenggelamkan, tapi saling menguatkan.
Tim Redaksi