SERANG– Sidang lanjutan perkara dugaan korupsi proyek pengangkutan dan pengelolaan sampah Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Tangerang Selatan kembali digelar di Pengadilan Tipikor Serang, Rabu (19/11/2025).
Sejumlah saksi dari DLH, PT Ella Pertama Perkasa (EPP), dan pemilik lahan dihadirkan untuk dimintai keterangan.
Dalam persidangan, terungkap kekacauan tata kelola sampah Cipeucang paska putus kontrak dengan TPA Cilowong pada 2024 silam.
Persidangan yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Mochamad Ichwanudin itu memperlihatkan bahwa pengelolaan sampah berlangsung tanpa rencana yang jelas maupun mekanisme pembayaran yang sesuai prosedur.
Diungkapkan saksi, aliran dana justru bergerak melalui tangan-tangan non-struktural, terutama Zeki Yamani, pegawai Disdukcapil yang disebut para saksi seorang yang mengendalikan pembayaran di lapangan.
Saksi Rega Ardiyansyah, yang merupakan pegawai honorer DLH Tangsel, mengatakan sejak awal dirinya tidak pernah menerima penjelasan mengenai lokasi pembuangan yang pasti. Setelah Cilowong tak lagi dipakai, kata dia, sampah diarahkan ke Rumpin, lalu dihentikan karena ditolak warga.
“Awalnya ke Rumpin, tapi didemo, jadi cari lahan baru,” ujarnya di hadapan majelis hakim.
Rega mengaku pernah menyerahkan Rp50 juta kepada pemilik lahan Mahfudin, di Tangcity, penyerahan itu disaksikan oleh Zeki, meskipun dilakukan tanpa dokumen resmi.
Ia juga menyebut mendapatkan tambahan insentif sekitar Rp10 juta selama Agustus hingga November 2024.
“Yang mengelola pembayaran itu Pak Zeki,” katanya.
Keterangan Rega diperkuat oleh Ari Gunadi Wibisana, staf pengangkutan PT EPP. Menurutnya, sampah dipindahkan berkali-kali, dari Rumpin ke Calincing, lalu ke Cibodas, kemudian ke Jatiwaringin hingga akhirnya dibuang ke Bitung.
“Setiap pindah tempat karena didemo,” sampainya.
Kata Ari, meski kontrak mencantumkan pengelolaan sampah, kegiatan pengelolaan justru tidak pernah dilakukan.
“Tidak ada pencacahan atau pemilahan. Hanya ditimbun tanah,” katanya.
Sementara saksi lainnya, Mulyanto Awab, staf keuangan PT EPP, memberi kesaksian mengenai besarnya dana yang mengalir lewat Zeki. Menurutnya, total permintaan dana dari Zeki mencapai Rp15,4 miliar, dengan anggapan bahwa uang itu digunakan untuk kebutuhan lapangan.
Mulyanto menyebut, PT EPP telah mencairkan Rp67 miliar pembayaran proyek, sementara nilai bruto tanpa potongan pajak seharusnya sekitar Rp75 miliar.
Namun begitu, hingga sejumlah tahapan persidangan telah berjalan, tidak ada penjelasan mengenai dasar permintaan dana tersebut ataupun mekanisme pertanggungjawabannya.
Lebih jauh, Mahfudin, salah satu pemilik lahan yang juga memberikan kesaksian yang menunjukkan betapa semrawutnya koordinasi proyek ini. Ia mengatakan sampah awalnya dibuang ke lahannya tanpa pemberitahuan.
Saya baru tahu setelah sebulan (dilakukan pembuangan di lahannya-red). Itu pun dari media,” ungkapnya.
Setelah mengetahui itu, Mahfudin meminta pembayaran sebesar Rp200 ribu per ton plus Rp300 ribu untuk koordinasi. Sehingga total yang diterimanya mencapai Rp1,3 miliar dari Agustus hingga November 2024.
Diketahui, semua proses pembayaran itu dilakukan tunai lewat Rega dan Zeki tanpa kontrak tertulis yang dibuatkan.
“Tidak ada kerja sama resmi,” kata Mahfudin.
Majelis hakim akan melanjutkan sidang pekan depan dengan menghadirkan saksi tambahan. Sidang kasus korupsi DLH Tangsel diperkirakan akan semakin memperdalam aliran dana yang mengalir di luar struktur resmi DLH Tangsel serta dugaan penyimpangan dalam pengelolaan sampah pasca habisnya kontrak dengan TPSA Cilowong.
Penulis: Rasyid
Editor: TB Ahmad Fauzi
