KAB. TANGERANG – Siti Amelia, seorang ibu rumah tangga di Kabupaten Tangerang, harus berjuang dengan segala keterbatasan. Suaminya, Edi Kurnaedi, divonis mengidap kanker nasofaring dan kini membutuhkan pengobatan intensif di RSUD Kabupaten Tangerang.
Warga Kampung Kebon Kelapa, Desa Jeungjing, Kecamatan Cisoka, ini sehari-hari hanya mengandalkan penghasilan dari berjualan nasi yang tak seberapa.
Pendapatan yang minim membuat Siti harus memutar otak untuk kebutuhan hidup, dan akomodasi pengobatan suaminya di tengah harus mengurus anaknya yang masih balita.
“Sakitnya sudah dari tahun lalu. Rencananya mau dirujuk ke Rumah Sakit Mayapada untuk MRI atau radiologi,” ungkap Siti kepada BantenNews.co.id, Rabu (6/8/2025).
Siti menceritakan, proses pengobatan suaminya hingga saat ini, awalnya pengobatan dilakukan secara mandiri ke RSUD Kabupaten Tangerang. Namun, sempat terhenti satu bulan karena keterbatasan biaya akomodasi.
Siti mengaku harus mengeluarkan biaya sekitar Rp350 ribu untuk transportasi, dan itu dihitung dengan biaya akomodasi lain di rumah sakit tiap kali menjalani kemoterapi. Di mana suaminya harus menjalani kemoterapi tiga kali dalam satu bulan.
“Dulu sebelum kenal ke RC Badak, sempat terhenti pengobatan karena gak ada biaya pas berobat jalan, dulu tuh ada tiga kalinya, kalau naik Grab kan dari rumah ke rumah sakit itu habis lah 350. Belum lagi buat makan di sana,” ungkap Siti.
Setelah pengobatannya terhenti, suaminya dibantu oleh Relawan Respon Cepat Badan Darurat Kemanusiaan (RC Badak), barulah pengobatan suaminya bisa dilanjutkan.
Saat jadwal kemoterapi pada Selasa (5/8/2025) kemarin, kondisi kesehatan suaminya turun dan harus dirawat inap di rumah sakit plat merah milik Pemkab Tangerang.
Siti menerangkan, setelah berkonsultasi dengan dokter terkait penyakit yang diderita suaminya karena tidak mengalami perubahan. Dimana benjolan pada lehernya tak kunjung mengecil, lalu dokter menyarankan untuk menggantikan obat kemoterapi.
Namun Siti dikejutkan dengan keterangan dari perawat sebab obat pengganti itu diduga tidak ditanggung oleh BPJS. Kendati demikian, Siti belum mengetahui harga obat kemoterapi yang disebut-sebut tak ditanggung BPJS itu.
“Udah diskusi, saya ke ruang kemoterapi untuk ganti obatnya. Ternyata di ruang kemoterapi bilang katanya gak di-cover BPJS. Dari situ saya bingung, udah mah mau dirujuk ke rumah sakit lainnya, saya kan ngurus-ngurus ini itu juga,” bebernya.
Sebelumnya divonis kanker nasofaring suaminya sempat menjadi karyawan disalah satu pabrik dan kemudian berhenti. Tak lama kemudian, terdapat benjolan kecil di leher dekat dengan tenggorokan suaminya.
Siti sempat mengajak suaminya untuk berobat, sayang ajak itu diabaikan Edi karena beranggapan bukan penyakit serius, ternyata benjolan itu makin membesar baru lah Edi bersedia berobat.
“Saya ajak berobat dianya gak mau karena dianggap penyakit amandel penyakit biasa, gak tahunya makin gede, segede telor. Baru dia mau diajak berobat,” ungkap Siti.
Kendati hidup dalam kondisi terhimpit akibat keterbatasan ekonomi, Siti hanya berharap pengobatan suaminya tidak berhenti dan seluruhnya bisa ditanggung BPJS.
“Ditambah saya juga punya bayi. Makanya saya sambil kerja, kerja juga hanya samping, kerja di kantin nganter makanan,” tandasnya.
Sebagai informasi, kanker nasofaring merupakan kondisi medis berupa munculnya pertumbuhan sel secara tidak normal, cepat, dan ganas di area sekitar belakang hidung dan bagian atas tenggorokan.
Penulis : Mg-Saepulloh
Editor: Tb Moch. Ibnu Rushd