
SERANG – Sinar terik matahari dan langit biru memayungi jejeran rumah-rumah sederhana milik warga Sukadana, yang berdiri di sepanjang aliran irigasi.
Dalam kesunyian, terdapat pemandangan tak lazim. Di mana, puluhan bendera kuning di pasang di pinggir saluran irigasi.
Bendera kuning itu bukanlah pertanda adanya kematian warga, melainkan ‘kematian’ kampung itu sendiri.
Warga sekitar menyebutnya sebagai ‘simbol duka’. Sebuah penanda bahwa kampung yang mereka tempati puluhan tahun akan segera lenyap.
Pemerintah Kota (Pemkot) Serang merencanakan pembongkaran ratusan rumah di bantaran irigasi Sukadana 1 hingga Sukadana 5, Kelurahan Kasemen, dalam waktu dekat. Warga menyambut kabar itu dengan perasaan campur aduk, pasrah, marah, dan bingung.
“Kampung ini akan dihilangkan. Orang-orang di sini berduka,” ujar Sarma, mantan Ketua RT 03 Sukadana 1, yang sudah tinggal di kampung itu selama 30 tahun, Kamis (15/5/2025).
Tak Ada Sosialisasi, Hanya Bisik-bisik
Meski penggusuran disebut-sebut akan berlangsung antara 15 hingga 17 Mei, tak satu pun surat resmi atau sosialisasi langsung diterima oleh warga. Informasi beredar hanya melalui obrolan warung kopi dan kabar simpang siur.
“Saya belum terima surat apapun. Cuma dengar kabar dari orang-orang. Katanya nanti ada pemadaman listrik, terus dibongkar,” ujar Sarma.
Warga juga mempertanyakan mengapa pengurus RT dan RW setempat tidak proaktif memberi penjelasan atau menjadi jembatan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat.
“RT-nya diam. Kalau saya masih jadi RT, saya pasti kasih tahu warga, biar gak pada bingung begini,” keluhnya.
80 Tahun Mendiami Bantaran, Kini Terancam Terusir
Kampung Sukadana bukan kawasan baru. Menurut pengakuan warga, permukiman di bantaran ini sudah ada sejak lebih dari 80 tahun lalu.
Banyak warga merupakan generasi kedua, bahkan generasi ketiga yang tinggal secara turun-temurun. Mereka sadar tanah itu milik negara, namun tidak memiliki pilihan lain karena keterbatasan ekonomi.
“Kalau punya uang, buat apa tinggal di tanah negara? Buat makan aja susah,” kata Sarma yang sehari-hari bekerja serabutan.
Relokasi ke Rumah Susun
Pemkot Serang dikabarkan menawarkan relokasi ke rumah susun bagi warga terdampak. Namun, bagi warga lansia atau yang memiliki kondisi fisik terbatas, rumah susun bukan solusi yang ideal.
“Rumah susun itu banyak anak muda. Orang tua naik tangga aja susah. Bukan bikin sehat, malah bikin sakit,” keluh Sarma.
Hal ini menunjukkan perlunya solusi relokasi yang mempertimbangkan aspek usia, kondisi fisik, dan keterjangkauan. Tidak semua warga mampu beradaptasi dengan pola hidup baru yang lebih vertikal dan serba terbatas.
Kehilangan Tempat dan Identitas
Bagi banyak warga, Sukadana bukan sekadar tempat tinggal. Ia adalah ruang hidup, tempat bertumbuh, dan bagian dari identitas sosial mereka.
Relokasi tanpa pendekatan sosial dan keadilan bisa berdampak serius pada psikologis warga, terutama anak-anak dan lansia.
“Kami cuma minta dimanusiakan. Jangan ditendang begitu saja,” kata Sarma lirih.
Kampung ini, menurutnya, bukan sekadar sederet rumah, tapi juga jejaring sosial yang kuat.
“Ada tradisi gotong royong, solidaritas antar warga, dan sejarah panjang yang tak bisa dipindahkan begitu saja ke rumah susun,” ujarnya.
Duka yang Tak Terdengar
Bendera kuning yang dipasang warga adalah jeritan diam. Mereka tahu tak bisa melawan negara.
Mereka tidak berniat menolak pembangunan. Tapi mereka ingin didengar, dihargai, dan diberikan keadilan.
“Kami hanya minta pengertian. Pemerintah punya kuasa, kami hanya punya doa,” tutup Sarma.
Kampung Sukadana mungkin akan hilang dari peta. Namun bagi warga, kenangan dan kehidupan yang pernah tumbuh di bantaran irigasi itu akan tetap hidup dalam ingatan, sekalipun tak lagi ada rumah untuk dikenang.
Penulis : Ade Faturohman
Editor : Tb Moch. Ibnu Rushd