SERANG– Lantunan doa istighosah terdengar dari Masjid Ashabul Kahfi di Kampung Cibetus, Desa Curug Goong, Kecamatan Padarincang. Puluhan suara menggabungkan diri, melantunkan doa pertolongan secara bersamaan, mengalahkan suara deras hujan yang mengguyur di luar.
Jamaah yang terdiri dari bapak-bapak, ibu-ibu, dan anak-anak ikut larut dalam lantunan zikir dan doa. Setiap kata yang keluar dari mulut mereka adalah permohonan tolong kepada Sang Khalik. Wajah-wajah tampak menunduk khusyuk, memejamkan mata, dan mengangkat tangan sebatas dada dengan telapak terbuka menghadap ke atas.
Istighosah yang sedang mereka gelar bukan sekadar ritus, melainkan bentuk solidaritas, upaya kolektif melawan ketidakadilan karena 17 warga terpaksa berhadapan dengan hukum imbas protes berujung pembakaran kandang ayam milik PT Sinar Ternak Sejahtera (STS) pada 24 November 2024 silam.
Protes itu merupakan akumulasi kekesalan warga karena tidak pernah digubris terkait dampak lingkungan dan bau menyengat dari kandang yang jaraknya hanya sepelemparan batu dari pemukiman.
Dari 17 warga itu, lima di antaranya merupakan anak di bawah umur dan sudah dijatuhi hukuman selama enam bulan pengawasan. Sedangkan nasib warga dewasa masih menunggu ketukan palu juru adil di Pengadilan Negeri Serang.
“Semoga nu dimaksud ku arurang bisa dikabulkeun ku Gusti Allah (semoga doa kita dikabulkan Allah SWT),” kata salah satu warga.
Pasca penangkapan itu, keluarga dari 17 warga tersebut hidup limbung karena kehilangan tulang punggung.
Mumu, kakak dari terdakwa Abdul Rohman dan Samsul Maarip, bercerita bahwa akibat penahanan sementara kedua adiknya, dialah yang harus jadi nakhoda ekonomi keluarga.
“Otomatis ya kami keluarga bareng-bareng (nyari uang). Kalau Samsul itu mondok masih belajar kalau Abdul Rohman sebelum ditahan kerjanya di pabrik kayu sama bikin golok,” kata Mumu saat ditemui usai istighosah, Minggu (25/5/2025).
Beban ekonomi yang dipanggul Mumu juga termasuk biaya hidup istri dan dua anak Abdul Rohman. Nafkah suami Mumu terpaksa dibagi dua demi keberlangsungan hidup keluarga sang adik.
“Sekarang saya harus double, harus mikirin kebutuhan sehari-hari, buat ongkos bolak-balik ke pengadilan (mendampingi sidang Abdul dan Samsul), sama (cari uang) buat makan,” imbuhnya.
Mumu juga bercerita bahwa anak Abdul yang berusia enam tahun mengalami trauma akibat melihat sang ayah ditangkap pada Februari lalu. Dia menyaksikan sang ayah diseret oleh beberapa pria berbadan tegap saat tengah malam.
Dunia sang anak seketika berubah. Setiap kali ada ketukan di pintu, ia akan lari mencari perlindungan di tempat yang dirasa aman. Matanya sering memancarkan kecemasan, mengamati setiap gerak-gerik orang asing dengan penuh curiga.
Kepada Mumu, anak itu kerap menitipkan surat yang dibuatnya sendiri. Di kertas sobekan dari buku tulis, ia menggambar dan menuliskan pesan rindu dan kepada sang ayah. Tulisannya seringkali miring-miring dan agak sulit terbaca, khas anak yang baru belajar menulis.

Surat itu selalu diterima Mumu dengan senyum menahan tangis dan janji bahwa sang ayah pasti menerimanya. “Sering banget bikin gambar, dari hatinya mungkin kangen udah lama enggak ketemu. Mungkin dipikirannya bapaknya ko enggak pulang-pulang,” ucap Mumu dengan suara bergetar.
Mumu juga mengamini bahwa protes yang dilakukan dua adiknya murni karena mereka memperjuangkan ruang hidup yang terampas akibat bau dan dampak lingkungan. Protes itu merupakan kekesalan kolektif warga dan tidak dilandasi motif ekonomi demi memeras PT STS.
“Kalau saya punya banyak uang mah dari dulu saya pasti pindah,” ujarnya.
Nasib serupa dialami Uliawati (29), istri terdakwa Syarif. Tanpa tangan suaminya, dia terpaksa mencari nafkah dengan berjualan makanan keliling sambil menggendong anak keduanya yang berusia empat tahun.
“Jualan kayak gorengan, empek-empek, cilok, gitu-gitu. Ya saya gimana caranya anak jangan sampai kekurangan,” kata Uliawati.
Uang yang Uliawati kumpulkan tidak hanya untuk kebutuhan sehari-hari, tetapi juga untuk membiayai perjalanan pulang-pergi ke Pengadilan Negeri Serang, tiga kali seminggu. Saat pergi ke sana, otomatis ia harus libur berdagang.
“Diirit-irit aja supaya (uangnya) kepake buat tiga hari itu,” tuturnya.
Pendamping hukum para terdakwa dari Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD), Rizal Hakiki berharap meski nantinya vonis hakim sudah dijatuhkan, perjuangan warga menolak PT STS kembali beroperasi tetap bisa digaungkan. Menurut dia, apa yang diperjuangkan warga merupakan hak untuk hidup di lingkungan yang bersih dan nyaman.
“Jangan sampai ketika proses pidananya selesai kemudian PT STS kembali beroperasi lagi karena menyebabkan dampak lingkungan. Perjuangan ruang hidup warga harus terus berjalan,” pungkasnya.
Penulis: Audindra Kusuma
Editor: TB Ahmad Fauzi