Beranda Opini Dilema Politik Transaksional Menjelang Pemilu 2024

Dilema Politik Transaksional Menjelang Pemilu 2024

Abdul Jabar. (doc.pribadi)

Oleh : Abdul Jabar, S.Pd
Penulis adalah Ketua Yayasan Sahabat Mandiri juga pegawai Sekretariat DPRD Cilegon

Pemilihan umum ibarat dagang sapi saja. Situ jual berapa, gua beli, kalau kurang ya bisa tukar tambah saja lewat jabatan.

Kita sudah sering dikibuli oleh politisi yang berbusa-busa dengan kata-kata keadilan, kesejahteraan, dan omong kosong. Kita juga sudah jengah dengan situasi politik yang begitu-begitu saja; kalau tidak politisi karatan, keluarga politisi, kolega oligarki, dan tentunya pengusaha yang mencoba peruntungan dalam politik. Dan kesemuanya masuk lingkaran setan politik uang, dari suap surat rekomendasi partai, sampai vote buying.

Politik transaksional telah menjadi perbincangan sebagai masalah krusial dalam setiap pemilihan umum (Pemilu) dan pemilihan kepala daerah (Pilkada), menggugah keprihatinan mendalam atas masa depan demokrasi dan memunculkan ketidakpastian atas integritas sistem politik kita. Meskipun menghilangkan sepenuhnya praktik ini adalah tugas yang sangat sulit, namun langkah-langkah penanggulangan politik uang harus menjadi prioritas utama dalam persiapan Pemilu yang akan digelar serentak pada tahun 2024.

Hal itu telah diceritakan Manyen, tukang bersih-bersih kebun kepada saya. “Bahwasannya dari hasil investigasi dan obrolan di warung kopi dan di lingkungan masyarakat sering mendengar menjelang Pemilihan Presiden, DPD, DPRD RI, DPRD Provinsi dan Kab/Kota tanggal 14 Februari 2024 suara manusia dihargai Rp50 ribu sampai dengan Rp300 ribu per kepala”. Hehehe, saya terkekeh mendengar ucapan si mamang ini. Sebab di sekitar lingkungan dan wilayah tempat saya tinggal, memang konstelasi ‘harga manusia’ pada belakangan hari ini fluktuasi persis seperti yang diucapkan tadi.

Sambung cerita mang Manyen, “Masyarakat kita kebanyakan masih berpikir isi perut saja tidak memikirkan bagaimana kualitas si caleg dan dari partai apa, yang penting berapa jumlah uangnya itu sendiri”. Contoh saja jadi kalau caleg A sekarang memberikan uang Rp100 ribu per suara, terus besok ada caleg B yang memberikan Rp300 ribu per suara, pasti berpindah dan nyoblos yang memberikan uangnya lebih besar. Dan rata-rata, para caleg menargetkan 100 ribu sampai dengan 150 ribu suara untuk DPR RI, DPRD Provinsi 50 ribu sampai dengan 100 ribu suara dan DPRD Kab/Kota rata-rata 5 ribu sampai dengan 10 ribu suara.

Lelucon based on true story itu mengingatkan saya pada Pemilu 2019, saya merasakan betul para caleg sangat proaktif mendekati warga (melalui bagi sembako, sumbangan buat masjid atau musala, alat-alat olahraga, membangun jalan bahkan bagi-bagi duit). Penyebabnya bukan cuma potensi suara, melainkan juga karena ada beberapa tokoh masyarakat, tokoh pemuda, yang punya kekuatan pengorganisasian, dan bisa diajak rembukan dan kerja sama pengkondisian suara.

Mahalnya biaya politik memperbesar kemungkinan tumbuhnya perilaku koruptif setelah kandidat tersebut terpilih. Kondisi ini menjadi siklus yang terus berputar untuk memenuhi kebutuhan tiap periode pencalonan. Pejabat yang telah menghabiskan dana besar akan berupaya mengeruk gantinya dari aktivitas politiknya. Dengan demikian, ketika menjabat, hanya akan berpikir bagaimana agar modal yang dikeluarkan itu kembali sedangkan kepentingan rakyat dikesampingkan. Ujar mang Manyen di akhir cerita.

Memang harus diakui bahwa transisi Orde Baru ke Reformasi memberi dampak perubahan dalam peta perpolitikan nasional. Sistem demokrasi yang dijalankan membawa banyak kebijakan baru sehingga membuka peluang bagi siapa saja untuk menjadi politikus, akibatnya siapa saja bisa masuk dalam dunia politik. Memang tidak ada yang salah dengan itu, tetapi menjadi masalah manakala dominasi politik transaksional menjadi jurus ampuh untuk mendapatkan jabatan. Celakanya, cost politik yang semakin tinggi tidak membuat politisi berhenti membakar uang untuk kursi politik.

Selama pemilu yang digelar secara langsung dari tahun 2009-2024, kita ditunjukkan sebuah fenomena yang terjadi secara masif, yaitu jual beli suara. Beberapa anekdot tentang pemilu, terutama pileg, di antaranya yang sering terdengar adalah NPWP (nomor piro wani piro alias pilih nomor berapa berani bayar berapa). Kelakar semacam itu adalah bukti dari maraknya praktik jual beli suara. Meskipun secara hukum praktik ini terlarang, para politisi dari tingkatan nasional sampai kepala desa tidak segan-segan membelanjakan anggaran pemenangan untuk membeli suara pemilih.

Menurut pakar politik Burhanuddin, memberikan sebuah jalan tikus bagi pemerintah, aktivis pro demokrasi, maupun masyarakat untuk lepas dari lingkaran setan ini. Usulan untuk mengikis politik uang; pertama, mengubah sistem pemilu proporsional terbuka menjadi tertutup, sehingga menguatkan peran partai dalam politik untuk fokus pada program partai, serta menutup kemungkinan kandidat secara personal melakukan vote buying untuk keterpilihan pribadi. Kedua, penegakan hukum terhadap pelanggaran jual beli suara. Banyak politisi merasa tidak sedang melakukan pelanggaran demokrasi karena polisi maupun penyelenggara pemilu tidak akan menindak pelaku praktik jual beli suara, seperti yang disampaikan kalau memang ditindak, penjara akan penuh dengan pelaku jual-beli suara. Ketiga, pendidikan politik bagi masyarakat, politisi, partai, aktivis pro-demokrasi, dan penyelenggara pemilu harus bekerja sama merumuskan strategi pendidikan politik menuju demokrasi Indonesia yang sehat. Karena, tingkat permintaan akan politik uang dari pemilih membuat politisi semakin mendapat pembenaran melakukan praktik jual beli suara.

Pendidikan politik yang masif dan menyasar seluruh lapisan masyarakat, dengan materi sederhana seperti kalkulasi nominal uang dibagi selama lima tahun sehingga terlihat harga yang murah untuk ditukar dengan kekuasaan yang diterima oleh para politisi/caleg. Semoga komitmen yang dibangun diharapkan dapat meningkatkan kualitas demokrasi dan meningkatkan legitimasi hasil pemilu.

Membangun budaya baru butuh waktu dan kesabaran serta tetap optimis bahwa politik uang bisa kita hindari bersama-sama. Mari hadapi Pemilu 2024 dengan rasionalitas yang baik dalam menentukan pilihan demi peningkatan kualitas demokrasi. Dan semoga Persiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR/DPD/DPRD yang terpilih adalah orang-orang yang siap mengabdi untuk kemajuan nusa dan bangsa Indonesia. (*)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini