Beranda Bisnis Diduga Untuk Redam Interpelasi, Gubernur Keluarkan Surat Konversi Kasda Jadi Modal Bank...

Diduga Untuk Redam Interpelasi, Gubernur Keluarkan Surat Konversi Kasda Jadi Modal Bank Banten

diskusi terbatas tentang 'Nasib Interpelasi Pasca Divestasi Kasda' yang dilaksanakan Banten Lawyers Club (BLC) di salah satu rumah makan di Kota Serang, Senin (22/6/2020) - (Foto Iyus/BantenNews.co.id)

SERANG – Ketua Pusat Kajian Konstitusi Perundang-undangan dan Pemerintahan FH Untirta, Lia Riesta Dewi menduga surat Gubernur Banten, Wahidin Halim terkait konversi kas daerah (Kasda) sebesar Rp1,9 triliun untuk jadi modal Bank Banten hanya untuk meredam 15 Anggota DPRD Banten agar tidak melanjutkan interpelasi.

Diketahui, belasan anggota DPRD Banten mengajukan hak interpelasi terkait pemindahan rekening kas umum daerah (RKUD) dari Bank Banten ke Bank Jabar Banten (BJB) yang dilakukan Gubernur Banten April lalu.

Lia menilai, pada saat DPRD sedang berwacana dan respons banyak pihak tentang Bank Banten bergeliat, Gubernur Banten kemudian mengeluarkan surat kepada DPRD Banten tentang konversi dana kasda senilai Rp1,9 triliun menjadi setoran modal untuk Bank Banten.

“Yang luar biasanya orang-orang banyak menyangka uang itu sudah diberikan gubernur, mau apalagi mengajukan interpelasi, seharusnya wacana dihentikan, inilah yang harus saya luruskan,” kata Lia usai diskusi terbatas tentang ‘Nasib Interpelasi Pasca Divestasi Kasda’ yang dilaksanakan Banten Lawyers Club (BLC) di salah satu rumah makan di Kota Serang, Senin (22/6/2020).

Menurutnya, anggapan tersebut tidak tepat, karena surat gubernur kepada DPRD belum tentu menyelesaikan kemelut Bank Banten. Surat itu bukan bagian peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan, artinya surat tidak memiliki daya ikat untuk dilaksanakan.

“Surat itu yang tidak memiliki daya ikat untuk dilaksanakan, jadi menurut saya surat itu untuk meredam khawatir 15 orang ini terus melanjutkan untuk mengajukan interpelasi,” ujarnya.

Lia menjelaskan, terdapat dua peraturan yang dikenal di Indonesia yaitu peraturan peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan. Peraturan perundang-undang memiliki daya ikat contohnya SK gubernur. Kemudian peraturan kebijakan tidak memiliki daya ikat untuk dilaksanakan contohnya surat edaran.

“Sedangkan surat yang dibuat gubernur itu surat edaran juga enggak, peraturan kebijakan kebijakan bukan, apalagi peraturan perundang-undangan.  Akhirnya saya bisa menyimpulkan surat gubernur Banten tidak atau belum menyelesaikankan kemelut Bank Banten. Karena hanya merupakan surat biasa yang tidak berakibat hukum, tapi akhirnya menjadi peredam wacana pengajuan hak interpelasi,” jelasnya.

Dikatakan Lia, pemindahan RKUD Pemprov Banten dari Bank Banten ke BJB telah menimbulkan kemelut yang luas biasa. Telah terjadi rush yang berdampak pada kondisi Bank Banten.

Kebijakan tersebut dinilainya telah melanggar peraturan pemerintah tentang pengelolaan keuangan daerah yang dimana disebutkan bahwa RKUD disimpan di bank yang sehat.

Ia memaparkan, pada saat pemindahan RKUD Bank Banten sedang masuk dalam pengawasan intensif Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang waktunya sampai 15 Juni 2020.

“Bank Banten sebetulnya belum dinyatakan tidak sehat oleh OJK karena jangka waktu pengawasan intensif belum habis. Selama pengawasan intensif ini OJK memberikan kesempatan kepada Bank Banten untuk memulihkan kondisi,” paparnya.

Jika pada atas waktu belum juga terlihat pemulihan maka OJK baru akan mengeluarkan penilaian berikutnya salah satunya dinyatakan tidak sehat.

“Pada saat Gubernur Banten menarik (RKUD), kondisi Bank Banten belum ditetapkan belum ditetapkan OJK sebagai bank tidak sehat, ibaratnya ikan lagi butuh oksigen, oksigennya diambil oleh gubernur, itu problemnya. Seharusnya nanti kalau pun mau ditarik nunggu keputusan OJK karena yang berhak mentukan bank sehat dan tidak sehat itu OJK, dan OJK masih menunggu satu tahun sejak suratnya diberikan kepada Bank Banten yang menyatakan Bank Banten itu dalam pengawasan intensif,” ujarnya.

Atas kondisi tersebut DPRD Banten kemudian berwacana ingin mengajukan hak interpelasi.

“Mengapa berwacana karena faktanya sampai hari ini belum ada pengajuan pasti hak interpelasi.  Jadi DPRD baru bisa berwacana, sama seperti Gubernurnya, satu badan itu yang harus diingat,” katanya.

Langkah sejumlah Anggota DPRD Banten tersebut menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat tak terkecuali kalangan akademisi. Di mana sebagaiannya bukan merupakan akademisi hukum.

“Saya pikir kenapa kita harus takut dengan sesuatu hal yang itu ingin menegakan sebuah aturan, mengapa hak interpelasi harus ditakuti. Hak interpelasi itu adalah suatu hak yang meminta keterangan saja tentang kebijakan kepala daerah yang memberikan dampak meluas terhadap masyarakat,” ujarnya.

Dalam sejarah tercatat bahwa sejak 1950 sampai 2019 telah terjadi 44 kali interpelasi yang diajukan oleh DPR. Dampaknya terlihat tidak ada masalah yang timbul. “Apakah menjadi masalah, apakah menjadikan hubungan presiden DPR tidak baik, tidak. Kita tuh jangan menakuti sesuatu hal yang bukan harus kita takui, jadi jangan lebay,” ujarnya.

(Tra/Mir/Red)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini