Beranda Opini Dampak Keberadaan PKL Bagi Masyarakat di Muarabinuangeun Ditinjau dari Perspektif Sosiologi

Dampak Keberadaan PKL Bagi Masyarakat di Muarabinuangeun Ditinjau dari Perspektif Sosiologi

Pedagang Kaki Lima

Oleh: Geulisdiani Anugrah, Mahasiswa Pendidikan sosiologi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa 

Di beberapa negara berkembang seperti Indonesia, pertumbuhan penduduk yang semakin pesat dan tenaga kerja yang menumpuk mengakibatkan angka pengangguran semakin tinggi dan meningkatnya kemiskinan.

Dilansir dari Koran Tempo, Menteri Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa memprediksi tingkat pengangguran terbuka hingga 2021 akan meningkat, jumlah pengangguran pada tahun ini menyentuh 12,7 juta. Hal ini disebabkan oleh permasalahan ekonomi, lapangan pekerjaan yang semakin sempit sehingga persaingan antar tenaga kerja menjadi sangat ketat, minimnya kualitas SDM membuat para pekerja yang cenderung tidak memiliki keahlian khusus akan tereliminasi oleh pekerja lain yang lebih terampil, tentunya hal tersebut menjadi persoalan yang penting bagi masyarakat maupun pemerintah.

Banyaknya para pekerja yang di PHK di perusahaan, mengakibatkan seseorang kehilangan pekerjaannya/sumber mata pencaharian yang dimilikinya. Berdasarkan data Bappenas dari sektor manufaktur, angka pegawai yang terkena PHK mencapai 30 persen dari total jumlah pekerja yang kehilangan pekerjaan. Dalam hal ini, tentunya menjadi persoalan yang penting bagi masyarakat sendiri maupun pemerintah.

Untuk mengatasi angka pengangguran yang semakin meningkat, diperlukan adanya pembangunan ekonomi yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat khusunya masyarakat kecil. Para pekerja yang di PHk dari perusahaan tempat dia bekerja banyak memilih beralih ke sektor informal seperti menjadi Pedagang Kaki Lima demi mencukupi kebutuhan hidupnya.

Menurut Buchari Alma (2005: 141), mengatakan bahwa Pedagang Kaki Lima ialah setiap orang yang melakukan kegiatan usaha dengan maksud memperoleh penghasilan yang sah, dilakukan secara tidak tetap dengan kemampuan terbatas, berlokasi di tempat atau pusat-pusat konsumen, tidak memiliki ijin usaha. Secara sosiologis, PKL merupakan entitas sosial yang di dalamnya terdapat pengelompokan menurut karakteristik tertentu seperti suku, etnik, bahasa, adat istiadat, asal daerah, jenis kegiatan, dan juga agama (Sarjono 2005:5).

Istilah kaki lima berasal dari masa penjajahan kolonial belanda, peraturan pemerintah belanda pada waktu itu menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk pejalan kaki. Pedagang Kaki Lima ini umumnya dilakukan oleh unit terkecil di masyarakat misalnya keluarga, PKL timbul karena adanya suatu kondisi perekonomian yang tidak stabil serta pendidikan yang tidak merata.

Di muarabinuangeun sendiri, fenomena keberadaan PKL sudah tidak asing lagi karena para PKL ini dapat dengan mudah ditemukan, misalnya di pinggir-pinggir jalan, trotoar dan sebagainya. Berdasarkan data yang didapat pada saat observasi langsung, diketahui Para Pelaku Usaha PKL di muarabinuangeun ini mayoritas adalah masyarakat dari kalangan menengah ke bawah yang tidak memiliki pekerjaan, sehingga kemudian menuntut mereka untuk mencari lapangan pekerjaan baru dengan memanfaatkan lokasi yang ramai yaitu di sekitar jalan dengan menjadi PKL.

PKL termasuk ke dalam sektor informal, sektor informal muncul dalam kegiatan perdagangan yang bersifat kompleks karena menyangkut jenis barang, tata ruang, dan waktu. Sektor ini juga bersifat tidak memerlukan persyaratan dan tingkat keterampilan, sektor modal kerja, pendidikan ataupun sarana yang diperlukan, sistem pengolahannya pun sederhana dan mudah dijangkau oleh masyarakat ataupun mereka yang belum memiliki pekerjaan dapat terlibat didalamnya.

Seiring bertumbuhnya PKL yang terus berkembang dari waktu ke waktu, tentunya hal tersebut juga memicu banyak persoalan yang terjadi di masyarakat. Keberadaan PKL terkadang dipandang buruk oleh sebagian masyarakat karena mengganggu kepentingan umum serta kebersihan lingkungan, hal tersebut dikarenakan lokasi penjualan PKL yang kurang tepat dan cenderung memakai bahu jalan/trotoar.

Selain itu, para pembeli yang memarkirkan kendaraannya secara tidak teratur juga sangat mengganggu ketertiban umum. Untuk itu, perlu adanya kontribusi pemerintah dalam mengatasi permasalahan ini, pemerintah diharapkan dapat menyediakan tempat usaha bagi para PKL agar dapat ditata dengan baik dan tidak sembarangan. Akan tetapi, pada kenyataannya seringkali pemerintah melakukan penertiban sepihak dengan cara melakukan penggusuran, hal ini tentunya merugikan para PKL.
Kebijakan pemerintah mengenai penggusuran ini dapat menjadi permasalahan yang baru bagi masyarakat, PKL yang berdagang di lokasi yang kurang tepat tersebut sebenarnya mereka memiliki alasan tertentu, sehingga membuat mereka memutuskan untuk melakukan alternatif lain dalam mencari nafkah yaitu menjadi PKL.

Ketika sumber mata pencaharian mereka dibatasi, artinya mereka tidak lagi mendapatkan penghasilan sehingga kemudian berdampak pada kehidupan ekonomi keluarga. Sulitnya mencari pekerjaan dengan kemampuan yang terbatas membuat mereka tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, untuk itulah pilihan mereka satu-satunya yaitu dengan membuka usaha menjadi Pedagang Kaki Lima. Disamping itu pula, keberadaan PKL memberikan dampak yang cukup besar bagi masyarakat sekitar, baik itu dampak positif maupun dampak negatif.

Jika ditinjau dari perspektif sosiologi, dampak positif yang dirasakan dari Keberadaan Pedagang Kaki Lima bagi Masyarakat di Muarabinuangeun ini salah satunya yaitu keberadaan PKL sebagai Katup Penyelamat dalam mengatasi pengangguran. Dimana dalam hal ini, ketika pengangguran semakin banyak maka peluang meningkatnya kriminalitas akan semakin tinggi.

Lapangan pekerjaan yang sempit dapat menyebabkan terjadinya konflik yang mengakibatkan masyarakat berada dalam kondisi/situasi yang kacau. Teori konflik menurut perspektif Lewis A. Coser merupakan sebuah sistem sosial yang bersifat fungsional. Menurut Coser, konflik yang terjadi dalam masyarakat tidak semata-mata menunjukkan fungsi negatif. Tetapi, konflik dapat pula menimbulkan dampak yang positif bagi berlangsungnya tatanan masyarakat.
Hal ini sesuai dengan keberadaan PKL yang dianggap sebagai katup penyelamat dalam meminimalisir angka pengangguran.

Dengan adanya PKL maka dapat membuka lapangan pekerjaan baru dan kesempatan kerja bagi mereka yang tidak memiliki pekerjaan. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu informan yang mengatakan bahwa “Alasan saya berjualan disini karena saya udah gak punyai pekerjaan neng (pengangguran), dulunya saya kerja di tempat kompeksi orang, tapi karena tuntutan kebutuhan ekonomi, saya memutuskan untuk berjualan dan menjadi Pedagang Kaki Lima buat nambahin penghasilan. (Bapak Toto, Pedagang Roti Bakar)”.

Berdasarkan hasil wawancara diatas, PKL memiliki sisi positif dalam membantu perekonomian keluarga, keberadaan PKL dijadikan sebagai peluang memanfaatkan potensi usaha untuk mendapatkan penghasilan. Disamping itu pula, teori konflik Coser oleh Margaret Poloma menyatakan bahwa Safety value atau Katup penyelamat adalah salah satu cara khusus yang dilakukan untuk mempertahankan kelompok sosial/masyarakat dari kemungkinan konflik sosial. Katup penyelamat ini membantu meredakan dan memperbaiki keadaan konflik yang terjadi pada kelompok sosial.

Dengan adanya keberadaan para PKL ini sebagai katup penyelamat (savety valve) dapat mengurangi tingkat pengangguran dan angka kriminalitas.
Sedangkan dampak negatif yang dirasakan dari Keberadaan Pedagang Kaki Lima bagi Masyarakat di Muarabinuangeun ini yaitu adanya ketergantungan masyarakat terhadap PKL. Keberadaan PKL membuat masyarakat cenderung memiliki perilaku konsumtif terhadap jajanan-jajanan di luar dibanding masakan rumahan.

Menurut Tambunan, Asry: 2006, Perilaku konsumtif adalah keinginan untuk mengkonsumsi barang-barang yang sebenarnya kurang diperlukan secara berlebihan untuk mencapai kepuasan yang maksimal. Dari hasil wawancara penulis bersama salah satu informan di muarabinuangeun mengatakan bahwa ”Setelah adanya PKL yang jualan disini saya jadi enak neng, kalo malem-malem pengen makan atau sekedar ngemil itu jadi gampang tinggal jalan aja ke depan, banyak banget jajanan-jajanan kaya gorengan, es dan segala macem. (Ibu Saryati)”.

Berdasarkan hasil wawancara diatas, dampak PKL bagi masyarakat di muara binuangeun ini menimbulkan perilaku konsumtif masyarakat. Salah satu kajian teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan penelitian ini adalah konsep perilaku konsumtif. Konsep ini menggunakan perspektif kajian cultural studies dengan teori utamanya adalah teori-teori konsumsi. Hal ini berkaitan dengan bagaimana perilaku konsumtif masyarakat di muarabinuangeun terhadap para PKL. Analisis mengenai budaya konsumsi berawal dari perhatian politik maarxisme. Bagi Karl Marx dan Frederick Engels, transisi dari feodalisme ke kapitalisme adalah suatu transisi dari produksi yang digerakkan oleh kebutuhan menuju produksi yang digerakan oleh keuntungan (John Storey, 2006: 144).

Salah satu pakar teori sosial yang mengkritisi tentang perilaku konsumtif. Pierre Bourdieu (dalam John Storey, 2006: 46), mengungkapkan pendapatnya bahwa apa yang dilakukan konsumsi terhadap kita, menjadi bagaimana kita menggunakan konsumsi untuk tujuan pembedaan sosial. Pedagang kaki lima disini memiliki pengaruh yang cukup besar bagi masyarakat di muarabinuangeun, saat ini perilaku konsumsif merupakan telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan sehari-hari masyarakat di muarabinuangeun, mereka mengkonsumsi lebih dari apa yang seharusnya dikonsumsi (konsumtif).

Hal ini dapat dilihat dari setelah adanya pedagang kaki lima, hampir semua aktifitas masyarakat mengalami perubahan. Misalnya Ibu-ibu yang awalnya suka memasak untuk keluarganya beralih membeli makanan di pedagang kaki lima karena dinilai lebih praktis dan lebih mudah untuk dijangkau, sehingga hal tersebut mengakibatkan masyarakat di muarabinuangeun menjadi ketergantungan terhadap PKL.

REFERENSI:

Ismanidar, dkk. 2016. Persepsi Masyarakat Terhadap Pedagang Kaki Lima Di Kota Banda
Aceh. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Unsyiah. (Online), Vol.1, No.1, hal: 147-157 (http://www.jim.unsyiah.ac.id/pendidikan-kewarganegaraan/article/view/474), diakses pada tanggal 14 November 2020.
Jamaludin, Adon. 2015. Sosiologi Perkotaan: Memahami Masyarakat Kota dan
Problematikanya. Bandung: Pustaka Setia.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Pujiastusti, dkk. 2016. Teori Konflik Lewis A. Coser.
(https://crateridea.blog.uns.ac.id/2016/03/21/teori-konflik-lewis-a-coser/),
diakses pada tanggal 18 November 2020).
Tejokusumo, Bambang. 2014. Dinamika Masyarakat Sebagai Sumber Belajar Ilmu
Pengetahuan Sosial. Jurnal Geoedukasi. (Online), Vol. 3, No.1, hal: 38-43 (https://media.neliti.com/media/publications/56331-ID-dinamika-masyarakat-sebagai-sumber-belaj.pdf), diakses pada tanggal 15 November 2020.

(***)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini