SERANG – Pekerja Rumah Tangga (PRT) atau yang lebih dikenal dengan sebutan Asisten Rumah Tangga (ART) kerap kali mendapatkan perlakuan tak layak dan diskriminasi oleh lingkungan maupun dari pemberi kerja atau majikan.
Penggunaan istilah pekerja dalam PRT pun dinilai lebih baik ketimbang kata asisten apalagi pembantu, tak hanya itu istilah pemberi kerja juga dinilai lebih bagus daripada majikan. Hal-hal tersebut seringkali digaungkan oleh para aktivis PRT hingga Komnas Perempuan dalam momen peringatan Hari Pekerja Rumah Tangga (PRT) Nasional maupun Internasional.
Di Hari PRT Nasional yang jatuh setiap tanggal 15 Februari, BantenNews.co.id mencoba mewawancarai keenam PRT asal Indonesia terkait suka duka yang dialami hingga mengenai Rancangan Undang-undang Pelindungan PRT (RUU PPRT). Lima dari enam PRT tersebut bekerja di Irak, sementara satu PRT bekerja di Kabupaten Serang.
Murni, Cahaya, dan Golbi merupakan PRT asal Kabupaten Indramayu sedangkan Samiyah adalah PRT asal Kabupaten Cirebon. Keempatnya bekerja di Kota As-Sulaimaniyah dan Kota Dahuk, Irak.
Menurut penuturan keempatnya, hampir 95 persen PRT asal Indonesia mengalami hal pahit selama bekerja di Irak. Kenyataan tak mengenakan itu diantaranya seperti soal jam kerja yang full-time sampai sulit untuk beristirahat, kekerasan fisik maupun verbal, tidak bebas menggunakan ponsel, makanan dibatasi hingga harus membeli makanan sendiri, dan majikan atau pemberi kerja perempuan yang terlalu cerewet.
Banyak dari para PRT yang telah mengadu ke berbagai pihak untuk dipulangkan namun nasib malang mereka malah dimanfaatkan oleh sejumlah oknum yang berujung pada pemerasan terhadap para PRT untuk mengeluarkan jumlah uang yang besar.
“Kami semua hanya bisa berharap ada keajaiban, kesejahteraan dan keadilan buat para pahlawan devisa di sini. Kami butuh perlindungan hukum yang kuat,” ujar Murni kepada BantenNews.co.id pada Selasa (15/2/2022).
Kejadian serupa pun dialami oleh May. PRT asal Kecamatan Cikeusal, Kabupaten Serang ini diduga merupakan korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) ke Erbil, Irak. Kisah May sendiri pernah ditulis oleh BantenNews.co.id dalam artikel berjudul ‘Eksklusif! Cerita May, TKW Asal Kabupaten Serang Diduga Dijual ke Irak, Minta Dipulangkan’.
Pemberi kerja di tempat May bekerja merupakan pasangan suami istri yang memiliki dua anak yang masih balita. Saat dijanjikan oleh Dewi (sponsor May-red) untuk bekerja di Irak, May hanya dijanjikan untuk membersihkan rumah tanpa mengurus anak namun kenyataannya sekarang May harus mengurus dua anak kecil dari pemberi kerja.
Berbagai perlakuan tak menyenangkan yang dilakukan sang istri mulai dirasakan May. Mulai dari kekerasan verbal dan fisik, pembatasan penggunaan ponsel, sulitnya waktu beristirahat, beban pekerjaan yang berat hingga menyebabkan sakit pinggang yang dideritanya semakin parah. May juga sempat sulit mendapatkan akses untuk berobat dari sang istri ketika pinggangnya terus menerus sakit.
Dirinya pun pernah mencoba mengadu ke KBRI setempat untuk meminta dipulangkan namun untuk memulangkannya tak mudah sebab May termasuk salah satu Pekerja Migran Indonesia (PMI) non prosedural atau ilegal. Pihak KBRI pun akhirnya menindaklanjuti laporan May dengan berdiskusi bersama agency yang menaungi May untuk memberikan teguran kepada pemberi kerja. Alih-alih mengakui perbuatannya kepada May, sang istri justru bersikap semakin menjadi. May mendapatkan amukan, berbagai macam tuduhan, ancaman hingga dua kali pukulan.
Beruntungnya, May masih memiliki sosok pemberi kerja yang baik dan membelanya yakni suami dari istri yang kerap kali berlaku tak menyenangkan terhadap May. Sekarang kehidupan May sudah lebih baik dari keadaan sebelumnya, dirinya sudah mendapatkan akses untuk berobat setelah harus melalui berbagai macam hal. Meski kondisinya saat ini sudah membaik, May masih berharap dapat pulang ke Cikeusal.
May mengungkapkan dirinya beserta teman-temannya yang mengalami perlakuan tak menyenangkan dari para pemberi kerja sempat mengalami kesulitan ketika ingin melaporkan kejadian tersebut.
“Setiap saya baca status teman-teman di sini saya ikut sedih merasakannya mbak, karena saya pun mengalaminya. Di sini kami tidak ada perlindungan hukum. Apalagi yang sungguh disayangkan setiap kami melapor kenapa harus ada masalah yang besar dulu baru bisa ditindaklanjuti contohnya kekerasan majikan terhadap ART ataupun gaji yang tidak dibayarkan baru bisa diproses pulang. Jelas-jelas sebagian dari kami ada yang tertipu oleh calo-calo atau sponsor yang mengirim ke sini. Bukankah itu TPPO yang jelas-jelas ada hukumnya, kenapa tidak bisa ditindaklanjuti. Itu yang sungguh disayangkan, mbak,” ungkap May.
Perlindungan hukum seperti RUU PPRT, menurut May dapat menjadi perlindungan hukum yang kuat bagi ia dan rekan-rekan satu profesinya selain itu juga memberikan keseimbangan antara PRT dan pemberi kerja.
“Kami butuh perlindungan hukum yang kuat agar ada keadilan buat kami. Kami di sini juga manusia bukan robot yang harus 24 jam bekerja terus, ada istirahatnya juga,” kata May.
Meski 95 persen cerita PRT merupakan cerita sedih, namun ada juga cerita menyenangkan yang dialami PRT lainnya yang bekerja di luar negeri maupun domestik.
Rini salah satu PRT yang bekerja di daerah Kecamatan Kramatwatu menceritakan dirinya memiliki pemberi kerja yang baik meskipun sebelumnya ia juga pernah mengalami hal buruk di beberapa majikan sebelumnya.
“Alhamdulillah majikan yang sekarang begitu baik, tidak ada perhitungan makanan. Mereka juga peduli ke keluarga saya kadang saya suka dibawakan makanan setelah pulang bekerja,” kata Rini.
Untuk diketahui, tahun 2022 menjadi tahun ke-18 RUU PPRT di DPR RI. Saat ini RUU tersebut masuk ke dalam Program Legislasi Nasional 2022 dan masih menunggu pengesahan sebagai RUU Inisiatif DPR RI, meski saat ini juga masih memperlihatkan kesepakatan oleh 7 fraksi untuk meneruskan pembahasan RUU tersebut, sementara 2 fraksi lainnya menolak.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan juga turut meminta semua masyarakat untuk memberikan dorongan kepada DPR RI untuk segara mengesahkan RUU PPRT menjadi UU PPRT.
Menurut Komnas Perempuan tidak adanya RUU PPRT adalah salah satu penyumbang kekerasan, diskriminasi dan perlakuan tak layak lainnya terhadap PRT.
RUU PPRT sendiri dinilai tak hanya dapat melindungi PRT namun juga dapat melindungi Pemberi Kerja. (Nin/Red)