Beranda Sosial Banyak Ritual Selamatan Tapi Minim Ungkapan Selamat

Banyak Ritual Selamatan Tapi Minim Ungkapan Selamat

DI PROVINSI Banten banyak ritual selamatan, baik yang berlandaskan ajaran agama maupun tradisi.

Awal bangun rumah ada ritual selamatan ngewaca syekh, selesai bangun rumah selamatan ngeriung, membeli kendaraan ada acara selametan saweran. Usia kandungan tujuh bulan selamatan ngerujak nuju bulanan, pemberian nama anak atau aqiqah gelar selamatan cukuran, anak pria memasuki aqil baligh akan dikhitan gelar selamatan sunatan. Anggota keluarga sembuh dari sakit gelar selamatan, mau pergi haji gelar selamatan walimatulhaj, dan sebagainya.

Dalam menyambut perayaan hari-hari keagamaan juga banyak ritual selamatan. Di bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW ada selamatan panjang mulud atau muludan, peringatan setengah bulan Ramadhan ada ritual qunutan, dan sebagainya.

Walau banyak rirual selamatan, dalam bahasa Jawa dialek Banten atau bahasa Jawa Serang (Jaseng) ternyata minim ungkapan selamat. Dalam bahasa Jaseng tidak ditemukan ungkapan serupa ‘selamat makan’, ‘selamat datang’, ‘selamat menempuh hidup baru’, ‘selamat bertanding’, dan sebagainya. Rupanya bagi warga Banten, menunjukkan rasa syukur akan keselamatan lebih banyak diwujudkan dengan ritual dibandingkan diungkapkan secara verbal.

Di beberapa tempat, saya pernah melihat tulisan ‘katuran rawuh‘ yang sering diasosiasikan dengan ungkapan ‘selamat datang’. Padahal kata ‘katuran‘ dalam kamus Bahasa Jawa Banten yang disusun A Mudjahid Chudari memiliki makna ‘silakan atau permisi’, bukan ‘selamat’.

Dalam Bahasa Jaseng ada kata ‘selamet’ yang menurut A Mudjahid Chudari setidaknya memiliki tiga arti. Pertama bermakna terbebas dari bahaya, malapetaka, bencana; tidak kurang suatu apa; tidak mendapat gangguan, kerusakan, dan sebagainya. Kedua berarti sehat, dan ketiga berarti tercapai maksud atau tidak gagal.

Ada ungkapan ‘menawi selamet‘ yang sering dituturkan penutur bahasa Jaseng. Ungkapan itu memiliki dua makna berbeda tergantung konteks atau peristiwa yang melatarbelakangi keluarnya ungkapan tersebut. Ketika dituturkan dengan rasa ikhlas dan tulus, ungkapan ‘menawi selamet’ dimaknai sebagai harapan akan keselamatan. Misalnya, orangtua mengucapkan ‘menawi selamet ning dedalan’ kepada anaknya yang hendak pergi.

Namun ungkapan tersebut akan memiliki makna berbeda ketika penuturnya sedang jengkel atau kesal. Ungkapan ‘menawi selamet’ dengan cara bebanting malah sering diartikan harapan agar lawan bicara si penutur tidak mendapatkan keselamatan. Misalnya seseorang yang kesal karena lawan bicaranya sulit ditagih utangnya sering bilang ‘menawi selamet bae lah!’ (Qizink)

 

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini