Beranda Opini Banten Umur Sêlawé: Saatnya Dewasa Menjawab Problem Daerah

Banten Umur Sêlawé: Saatnya Dewasa Menjawab Problem Daerah

Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten, Curug, Kota Serang. (Ist)

Oleh : Qizink La Aziva 

HARI INI, Provinsi Banten genap berusia 25 tahun—usia yang dalam bahasa lokal akrab disebut sêlawé. Angka sêlawé di masyarakat kita bukan sekadar bilangan, tetapi menyimpan filosofi yang dalam.

Secara harfiah sêlawé dimaknai sebagai waktu seneng lanang lan wedok. Ini adalah fase manusia mulai beranjak ke jenjang serius ketika berusia 25 tahun. Pada tahap ini, lelaki ataupun perempuan memiliki usia ideal untuk melangsungkan pernikahan atau berumah tangga. Sebuah fase yang dibutuhkan sikap berani, jujur, tanggung jawab, dan mandiri. Makna-makna itu menandakan peralihan dari masa remaja menuju kedewasaan, masa di mana seseorang sudah harus mantap dalam pijakan, bertanggung jawab, sekaligus berani menata arah hidupnya.

Bila kita tarik ke konteks Banten, usia sêlawé mestinya menandakan provinsi ini mulai mengalami fase dewasa dalam pembangunan daerah. Dua setengah dekade seharusnya cukup bagi wilayah di ujung barat Pulau Jawa ini untuk belajar dari kegagalan, mengoreksi kesalahan, dan menata ulang prioritas. Namun, kenyataannya, Banten masih bergulat dengan persoalan klasik: korupsi yang membelenggu birokrasi, pengangguran terbuka yang tinggi, serta akses pendidikan dan kesehatan yang belum merata.

Korupsi: Luka yang Belum Sembuh

Korupsi seakan menjadi noda yang sulit dihapus dari wajah Banten. Bahkan, di masa awal berdirinya, provinsi ini sudah dikenal sebagai salah satu daerah dengan kasus korupsi menonjol. Korupsi menjadi prilaku yang telah terbukti jadi racun pembangunan di Banten. Racun ini bahkan telah menjadi semacam luka abadi yang membuat Banten jauh dari cita-cita pembentukannya yakni mewujudkan masyarakat Banten yang sejahtera.

Filosofi sêlawé mestinya bisa dibaca sebagai pesan moral: 25 adalah usia matang untuk berhenti bermain-main. Banten tidak boleh lagi membiarkan pejabatnya bermain-main dengan anggaran rakyat. Di usia yang sudah dewasa, pejabat Banten harus bisa menentukan skala prioritas yang berpihak pada masa depan publik dibandingkan kepentingan pribadi. Serupa manusia yang sudah berumah tangga, di usia sêlawé, pejabat Banten harus piawai mengatur uang belanja. Banten harus pintar melakukan efisiensi,  mengalokasikan uang pajak rakyat untuk dikembalikan kepada rakyat. Uang harus betul-betul dikelola secara tertib, mulai dari penyusunan alokasi, penggunaan, hingga evaluasi pemanfaatannya.

Baca Juga :  Seperti Ini Persiapan HUT ke-23 Provinsi Banten

Jika sêlawé dimaknai sebagai sikap dewasa yang jujur dan berani, maka keberanian yang dibutuhkan Banten saat ini adalah menegakkan integritas, menolak praktik rente, dan membersihkan birokrasi dari budaya suap. Terlebih saat ini pasangan Andra Soni – Dimyati Natakusumah sebagai kepala daerah di Banten memiliki visi Maju, Adil, Merata, Tidak Korupsi.

Seperti dalam sebait lirik Tepuk Sakinah, visi tidak korupsi itu harus menjadi ‘janji kokoh… janji kokoh… janji kokoh” yang harus dibuktikan Andra Soni -Dimyati. Visi tidak korupsi itu harus diwujudkan, bukan sekadar menjadi narasi basa-basi ala birokrasi.

Usia Produktif yang Terbuang

Ironisnya, di usia sêlawé, Banten justru masih mencatat sebagai daerah dengan tingkat pengangguran terbuka yang cukup tinggi di Indonesia.

Data Badan Pusat Statistik menyebut Ttngkat pengangguran terbuka (TPT) Banten pada Februari 2022 sebesar 8,53 persen, Februari 2023 sebesar 7,97 persen dan Februari 2024 sebesar 7,02 persen. Angka ini menunjukan masih tingginya jumlah para pengangguran di Banten

Sêlawé dalam filosofi anak muda kerap diartikan sebagai masa emas untuk bekerja keras, meniti karier, dan berkontribusi. Ini adalah fase kemandirian. Namun, banyak pemuda Banten yang justru terjebak dalam lingkaran pengangguran dan pekerjaan informal. Artinya,  Banten kini sedang kehilangan makna produktifnya. Pemerintah daerah seharusnya membaca tanda zaman: bonus demografi akan berubah menjadi bencana jika tidak diolah dengan kebijakan yang menciptakan lapangan kerja berkelanjutan.

Usia sêlawé seharusnya bukan lagi masa belajar membangun pondasi, melainkan masa memetik hasil dari perencanaan jangka panjang. Sayangnya, Banten belum sepenuhnya mampu mengelola potensi yang ada untuk menciptakan lapangan kerja bagi warganya.

Tentu bukan hanya korupsi dan pengangguran saja problem yang ada di Banten, masih banyak coreng pembangunan di sini. Soal pemerataan pelayanan pendidikan dan kesehatan, ketimpangan pembangunan wilayah utara dan selatan, masih tingginya angka kemiskinan, kekerasan terhadap anak dan perempuan yang terus meningkat, dan sederet problem lainnya yang perlu sikap dewasa untuk segera diatasi

Baca Juga :  Pesan Khutbah di Hari Arafah

Jika sêlawé dimaknai sebagai simbol kedewasaan, maka 25 tahun Banten adalah momentum refleksi. Rakyat Banten tidak lagi bisa diberi janji-janji manis. Yang dibutuhkan adalah komitmen nyata: tata kelola bersih, integritas, pemerataan pembangunan, serta keberpihakan pada masa depan publik.

Banten harus berani menatap cermin: apakah ingin terus dikenang sebagai provinsi dengan ironi pembangunan—kaya potensi tapi miskin realisasi—atau sebagai daerah yang bertransformasi, berani meninggalkan masa lalu, dan melangkah ke depan dengan kesungguhan.

Pada akhirnya, sêlawé adalah pengingat bahwa kedewasaan bukan soal angka, melainkan tentang sikap dan tanggung jawab. Dan kini, Banten sedang diuji: apakah benar-benar sudah dewasa atau masih bermain-main di usia produktifnya.

Jika di usia sêlawé masih tetap hanya bermain-main maka tidak menutup kemungkinan Banten akan terperosok dan bakal dilêléwé (dicibir).  Hampura. Tabé!  (*)

Penulis, jurnalis, penerjemah, pegiat di Komunitas Bahasa Jawa Serang, anggota Bidang Literasi ICMI Orwil Banten