Rombongan kami yang terkejut, bergegas keluar.
“Lihat itu,” kata penjaga. “terlihat di kejauhan api berkobar di dalam kota. Dan ketika aku berbalik untuk memberi peringatan api muncul di tiga tempat dalam sekejap!”
Android BantenNews.co.id
Download di Playstore. Baca berita tanpa iklan, lebih cepat dan nyaman lewat aplikasi Android.
“Ada empat titik kebakaran!” seru prajurit Dirks. “Lihat, di sana juga terbakar!”
“Nah, semuanya sudah mulai kacau!” teriak wakil pedagang. “Lihat, di sana juga mulai terbakar. Ayo ambil senjata dan beri tahu residen!”
“Lima!” hitung seseorang; “enam, tujuh… sungguh, seluruh kota terbakar!”
“Kalau begitu, orang yang tadi di sini juga pasti ingin membakar!” seru penjaga.
“Tentu saja, bajingan itu. Ini pasti perbuatan Sultan Ageng,” kata wakil pedagang.

Sementara itu, semua orang di penginapan telah terbangun dan menyandang senjata. Segera pula ditempatkan penjaga-penjaga yang mengelilingi seluruh area. Dengan senjata musket yang telah terisi peluru, mereka menjaga seluruh pintu masuk.
Residen, bernama Caeff, memerintahkan agar semua persiapan pertahanan segera dilakukan, lalu menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Di dalam kota tampak terjadi kekacauan besar. Para penduduk terbangun dari tidurnya. Utusan-utusan Sultan Ageng telah berada di seluruh penjuru jalan. Utusan Sultan memberitahu warga bahwa jika mereka menyatakan berpihak kepada Sultan Ageng — yang saat itu sedang dalam perjalanan bersama pasukannya — maka mereka tidak akan disakiti.
Sebagian besar penduduk mengikuti saran itu. Para pejabat tinggi dan perwira, yang tampaknya telah diberi tahu sebelumnya, langsung berpihak kepada Sultan Ageng. Dalam waktu singkat Banten telah jatuh ke tangannya.
Di benteng, kabar itu menyebar cepat. Suara keributan perang di luar dan kobaran api yang membakar berbagai sudut kota. Sultan Haji pun menjadi putus asa dengan kabar itu.
Jam demi jam berlalu. Musuh belum juga mendekati benteng maupun loji Belanda. Dalam situasi penuh ketegangan, pasukan tetap bersiaga dengan senjata di tangan, menantikan datangnya fajar. Sebab meskipun di banyak tempat kota itu terang oleh cahaya api yang melahap rumah-rumah penduduk. Sementara di sekitar loji dan benteng masih relatif gelap dan sunyi.
Di sekitar wilayah kekuasaan sang Sultan, malam begitu gelap hingga tak satu pun dapat terlihat. Hanya keheningan yang pekat menggantung di udara.
Namun tiba-tiba, dari arah pagar kayu pertahanan di luar, terdengar langkah seseorang mendekat.
“Siapa di sana!” seru penjaga dengan nada tajam dan waspada.
“Teman baik!” sahut sebuah suara lirih dari balik kegelapan.
Beberapa detik kemudian, di antara ujung-ujung palisade yang runcing, muncul wajah seorang anak kecil — seorang bocah pribumi dengan mata yang berkilat berani dalam temaram malam.
“Oh, jadi kau, Atjong?” tanya Dirks, sang musketeer, yang malam itu bertugas berjaga.
“Ya, Tuan prajurit,” jawab bocah itu dengan sopan, “bolehkah saya masuk? Saya membawa sepucuk surat untuk Tuan Residen.”
“Baiklah, kemarilah.”
Penjaga itu membuka jalan, mengizinkan bocah itu melangkah masuk. Setelahnya, ia memanggil seorang prajurit lain untuk mendampingi si kecil menuju tempat Residen.
Setibanya di hadapan Residen, Atjong menunduk hormat, lalu menyerahkan secarik surat kecil yang digenggamnya erat sejak tadi.
Residen Caeff segera mengambil surat itu, membukanya dengan gerakan tergesa, dan matanya segera menelusuri baris-baris tulisan di atasnya.
“Dari De Roy,” gumamnya perlahan, “atas nama Sultan… hm, ini bukan perkara kecil.”
Ia terdiam beberapa saat, pandangannya kosong menembus udara, seolah menimbang sesuatu yang berat. Di hadapannya, Atjong memandang lekat-lekat, berusaha membaca makna di wajah sang Residen.
Akhirnya Caeff bersuara lagi, suaranya tenang namun mengandung ketegangan.
“Masih bisakah seseorang masuk ke dalam benteng?”
“Masih, Tuan,” jawab Atjong cepat. “Ada sebuah pintu rahasia yang hanya sedikit orang tahu.”
“Dan aku bisa kembali dengan selamat?”
“Ya, Tuan,” kata bocah itu dengan mantap, “Atjong berani mempertaruhkan kepalanya untuk memastikan Tuan kembali dengan selamat.”
Residen mengerutkan kening, menatap bocah itu lama, lalu bergumam pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri:
“Hmm… aku mulai percaya pada bocah kecil berkulit sawo matang ini…”
“…mungkin kau tak terlalu pintar,” gumam sang Residen dengan setengah tersenyum, “meski kau tampak cerdik. Tapi baiklah, aku akan mengambil risiko ini.”
Ia segera memberi sejumlah perintah penting. Kepemimpinan loji untuk sementara ia serahkan kepada wakil pedagang, sambil menjelaskan jalur rahasia yang akan ia tempuh menuju benteng. Demi keamanan, ia memutuskan untuk membawa seorang prajurit sebagai pengawal.
Beberapa saat kemudian, bocah kecil itu telah membimbingnya dengan selamat melewati kegelapan malam dan memasukkannya ke dalam benteng. Di sanalah, dalam ruangan tidur sang Sultan, Residen Caeff akhirnya berdiri.
Selain Sultan, di ruangan itu hadir pula beberapa bangsawan tua yang setia, serta seorang Belanda bernama Jacob de Roy — seorang pria dengan riwayat hidup penuh petualangan.
De Roy pernah menjadi relawan dalam dinas Kompeni di pesisir Koromandel, di bawah komando Van Goens. Setelah itu, ia turut serta dalam perang di Sulawesi di bawah pimpinan Speelman. Sesudah masa perang berakhir, ia tiba di Batavia, meletakkan pedangnya, dan mencoba hidup tenang sebagai warga bebas — seorang tukang roti.
Namun, peruntungan tidak berpihak padanya. Usahanya gagal, dan karena terjerat utang, ia dinyatakan bangkrut. Untuk menghindari hukuman, ia melarikan diri ke Banten. Di sanalah ia kini berada — satu-satunya orang Belanda yang mengabdi kepada Sultan muda, dan sekaligus satu-satunya Belanda di dalam benteng yang sebentar lagi akan dikepung.
Jacob de Roy adalah seorang pemberani dan cerdas, seorang yang seakan dilahirkan untuk menjadi prajurit.
Setiap kali bahaya muncul, semangatnya menyala, dan keberaniannya tumbuh tanpa batas. Begitu ia menyadari betapa genting keadaan saat itu, wajahnya sama sekali tak menunjukkan gentar — justru tekadnya tampak semakin keras membaja.
Semangat keprajuritan dalam diri Jacob de Roy menolak untuk menyerah. Ia merasa terpanggil untuk melawan, untuk berdiri menghadapi segala bencana yang kini mengancam Sultan Haji, sang penguasa muda.
Sultan Haji sendiri telah hampir kehilangan harapan — keyakinannya akan kemenangan telah runtuh. Namun De Roy, dengan tekad baja dan hati yang menyala, tidak mengenal kata putus asa.
Sejak api di kota Banten menjulang tinggi ke langit, sejak pasukan pemberontak dengan gemuruh memasuki kota dan merebutnya, De Roy tak henti-hentinya menyemangati Sultan yang gentar itu.
“Kita masih bisa bertahan,” katanya berulang kali dengan keyakinan penuh. “Benteng ini kuat. Bila Baginda segera memohon bantuan kepada Kompeni, mereka tak akan meninggalkan Anda sendirian.”
Kata-katanya yang tegas namun meyakinkan perlahan-lahan menembus dinding keputusasaan sang Sultan. Ia berbicara dengan keyakinan yang menular — keberanian seorang tentara yang lahir dari api dan kesetiaan.
Akhirnya, di bawah pengaruh dorongan De Roy, Sultan Haji memerintahkan agar Residen Caeff dipanggil.
Kepada Caeff, De Roy menjelaskan keadaan yang sebenarnya, memaparkan rencananya, dan sang Residen pun tak dapat berbuat lain selain menyetujui sepenuhnya nasihat tersebut.
Segera setelah itu, Sultan memerintahkan untuk menulis sepucuk surat, ditujukan kepada Pemerintahan Tinggi di Batavia, berisi permohonan agar mereka secepatnya mengirim bantuan — kapal, prajurit, dan pasokan — guna mempertahankan benteng Banten dari kepungan musuh.
Residen Caeff menerima surat itu dengan tenang namun penuh kesungguhan. Ia berjanji akan mengirimkannya dengan segera, lalu berpamitan kepada sang Sultan dengan kata-kata yang meneguhkan hati.
Sesudah ia pergi, Sultan Haji pun menatap De Roy lama, seolah menaruh kepercayaannya sepenuhnya pada lelaki Belanda yang gagah namun malang nasib itu — dan memberikan kepadanya wewenang penuh untuk memimpin pertahanan benteng.
Bersambung…
Cerita ini dialihbahasakan dari De Page van De Sultane, novel sejarah tentang perang dengan Banten pada Tahun 1682 karya J. Hendrik van Balen. Penulis mengambil sudut pandang VOC yang tengah memonopoli perdagangan rempah di Banten.
