Beranda Opini Apa Sastra Itu?

Apa Sastra Itu?

Ceramah dan Baca Puisi penyair terbesar Jerman Johan Wolfgang von Goethe oleh ahli sastra Indonesia Berthold Damshäuser di Auditorium Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang, Banten, Jumat (20/9/2019) lalu

Oleh: Sulaiman Djaya, Penyair dan Esais

Dalam sebuah perbincangan akrab yang mengambil tema Seputar Intelegensi dan Kecerdasan Insani, Daisaku Ikeda bertanya kepada Arnold Toynbee: “Apa yang bisa dilakukan sebuah karya sastra bagi kaum papa?”. Pertanyaan itu, sebagaimana diakui oleh Daisaku Ikeda, memang dipinjam dari Jean-Paul Sastre. Segera saja, Toynbee menanggapi bahwa adalah sesuatu yang akan sangat keliru bila memaksakan kesusastraan menjelmakan dirinya sebagai fungsi sains praktis, karena karya sastra, lanjut Toynbee, lebih sering berfungsi sebagai pengguggah jiwa dan kesadaran.

Arnold Toynbee mencontohkannya dengan dampak novel-novelnya Leo Tolstoy dan Fyodor Dostoievsky, dua penulis besar Rusia, yang telah membangkitkan rasa iba-hati dan tanggungjawab manusiawi dalam rangka menciptakan solidaritas-humanis, yang pada akhirnya menggerakkan kesadaran masyarakat untuk saling-membantu dan mengubah nasib mereka, hingga menginspirasi gerakan revoluisoner.

Toynbee kemudian menerangkan bagaimana Tolstoy menuliskan novel-novelnya, yang menurut Toynbee sendiri berkembang bersama-sama antara jiwa Tolstoy sebagai pengarang dan penulis dengan novel-novelnya. Dalam tahapan dan fase-fase perkembangan itu, lanjut Toynbee, sikap dan pandangan “dunia” Tolstoy sekurang-kurangnya tercermin lewat tokoh-tokoh setiap novelnya.

Pada awalnya, demikian papar Toynbee dalam dialognya dengan Daisaku Ikeda itu, Tolstoy menulis secara spontan, sekedar menurutkan dan melampiaskan desakan hatinya untuk menulis dan menghasilkan sebuah prosa. Tetapi dalam perkembangannya, karena bersamaan dengan kematangannya menangkap “dunia” dan menuliskan ulang dalam sebuah prosa, karya-karyanya justru menjadi nyata bagi para pembacanya, yang seolah-olah bercerita tentang “dunia” para pembaca itu sendiri.

Seperti juga Heidegger ketika membincang puisi, sastra bagi Toynbee kadang-kadang malah menciptakan pilar baru atau wawasan dan kuriositas bagi ilmu pengetahuan, intelegensi, dan kecerdasan insani. Jika demikian, “realisme kesusasteraan” tentulah bukan berarti sebuah usaha dan upaya “menjinakkan” kosmologi kesusasteraan hanya sekedar sebagai “fungsi sosiologis” semata.

Dapatlah dikatakan, kesusasteraan tidak menghendaki hanya menampilkan data-data survey, tapi lebih mencerminkan sebuah ikhtiar alegoris dan kiasan untuk mencipta “wawasan”. Kadang-kadang, karena garisnya ini, “kesusasteraan” tak jarang mendekati fungsi yang agak “profetik”.

Dan demi mengimbangi perbincangan itu, Daisaku Ikeda kemudian menambahkan bahwa memang, spirit dan rasa bebas yang didasarkan pada panggilan jiwa kreatif-lah yang menjadi “pilar” dunia kesenian dan kesusasteraan. Sebab acapkali, demikian Daisaku Ikeda menambahkan dalam dialognya yang amat bernas dengan Arnold Toynbee pada sesi tentang “pentingnya kecerdasan sastrawi itu”, kesusasteraan yang secara sengaja meniatkan menjelmakan dirinya memiliki tujuan sosial atau fungsi realis malah jatuh pada pragmatisme dan jebakan politis, yang alih-alih membuatnya kehilangan tujuan sosial yang diniatkannya. Karena itu, demikian mereka mengakhiri sessi kesekian dialognya itu, “spirit yang dilandasi pada kebebasan-kreatif-lah” yang akan membuat karya sastra memiliki fungsi sebagaimana mestinya sebuah karya sastra.

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini