SERANG – Pengamat memprediksi angka partisipasi pemilih pada Pilkada Serentak 2020 mengalami penurunan yang disebabkan adanya pandemi Covid-19. Oleh karena itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga diminta segera membuat regulasi terkait mekanisme pelaksanaan dalam setiap tahapan selama pandemi.
Diketahui, KPU RI menyetujui tahapan pilkada dilanjutkan pada 15 Juni mendatang setelah sebelumnya ditunda karena wabah Corona.
Pengamat politik yang juga akademisi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Suwaib Amirudin mengatakan, penyelenggara pemilu harus secepatnya membuat regulasi sekaligus mensosialisasikan ke masyarakat.
“Karena sekarang ini kan (ada) pandemi, angka partisipasi (pemilih) bisa terjadi penurunan. Lalu sampai saat ini KPU di daerah ngga diberikan sosialisai (regulasi) terkait tata cara pelaksanaan,” kata Suwaib, Senin (8/6/2020).
Jika tidak ada regulasi, lanjut Suwaib, maka bisa dipastikan masyarakat akan apatis terhadap pesta demokrasi itu.
“Masyarakat apatis, mereka akan berfikir kalau ke TPS (Tempat Pemungutan Suara) takut kena virus, takut tertular. Makanya, KPU harus meyakinkan betul bahwa ada alat pelindung diri (APD),” kata Suwaib.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Untirta itu juga mendorong penyelenggara pemilu untuk melakukan penambahan TPS. “Karena kerumunan (masyarakat) ini kan sulit untuk dibatasi. Misalkan 300 orang per TPS pasti akan ada antrean. Saya sih saranin kalau bisa ditambah bahkan per RT satu TPS,” paparnya.
Dirinya juga menilai, rencana pemilihan menggunakan sistem e-voting cukup berat. Meski begitu, ia lebih meminta KPU untuk mengajukan tambahan anggaran untuk kebutuham APD.
“Makanya kita dorong supaya KPU diberikan anggaran tambahan untuk APD yang akan dipakai oleh petugas di lapangan. Dan (anggaran) itu harus ditambah. Karena tidak mudah mengikuti SOP (standar operating procedure) kesehatan,” ujarnya.
Termasuk untuk para kandidat bakal calon (bacalon) kepala daerah bersama partai politik (parpol), kata Suwaib, juga harus mengikuti protokol kesehatan.
“Karena sekarang kan (kampanye) pasti agak sepi, harus dibatasi pertemuan-pertemuan. Bisa juga dipakai publikasi online, kampanye online. Ini juga untuk menghindari kerumunan supaya ngga menyalahi aturan serta menghindari stigma negatif dari si calon kepala daerah,” pungkasnya. (Tra/MIR/Red)