
PANDEGLANG– Sejumlah aktivis mengkritisi demokrasi yang ditetapkan di Indonesia. Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina mengkritik kondisi Indonesia saat ini yang disebutnya sebagai sebagai “Demokrasi seolah-olah,” di mana berbagai prosedural negara demokrasi dijalankan, namun esensinya nihil.
Almas awalnya menyampaikan pandangannya mengenai kondisi Indonesia bisa terlihat dari dugaan intervensi politik dalam pemberian amnesti dan abolisi kepada Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong dari Presiden Prabowo Subianto.
Keputusan Prabowo, dinilai terlalu cepat karena kasus Tom dan Hasto sama-sama belum inkracht atau berkekuatan hukum tetap. Keduanya dinilai Almas, semestinya masih bisa mengajukan upaya hukum banding hingga kasasi.
“(Keadaan Indonesia) tidak hanya bisa dibilang jalan di tempat tapi ya, berjalan mundur,” kata Almas saat menjadi narasumber dalam diskusi ‘Republik yang Menua dari Gelap Terbitkah Terang?’ di Pucuk Pare Resto, Kecamatan Cimanuk, Kabupaten Pandeglang pada Sabtu (2/8/2025)
Menurut Almas, kondisi Indonesia saat ini lebih tepat disebut dengan masa ‘seolah-olah’. Maksudnya adalah kondisi di mana syarat negara demokrasi dijalankan tapi nilai-nilai kebebasan, keadilan, dan partisipasi publik tidak dijalankan.
Contohnya seperti DPR yang kerap melaksanakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) untuk mendengar suara masyarakat. Namun, pada akhirnya, hal itu hanya sekadar menggugurkan kewajiban mereka tanpa benar-benar mendengarkan masyarakat.
“Suara kita akhirnya menguap begitu saja, bukan hanya masuk telinga kanan keluar kuping kiri tapi masuk telinga kanan aja belum. Bukan meaning full participation atau partisipasi bermakna tapi manipulation participation atau partisipasi yang dimanipulasi seolah olah kita sudah disediakan ruang untuk berpartisipasi tapi sebenarnya ruang itu omong kosong juga,” ujarnya.
Narasumber lainnya, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Savic Ali juga mengkritisi kondisi Indonesia saat ini yang menurut pandangannya, meskipun ada beberapa hal yang lebih baik semenjak reformasi, tapi Indonesia belum bebas dari berbagai persoalan lain.
“Paling tidak, beberapa ecosoc right (economic, social, and culture rights) tidak hilang masyarakat menengah di Indonesia mulai tumbuh,” ucap Savic.
Namun, menurutnya itu saja belum cukup. Salah satu hal penting, political right di Indonesia, ia sebut terancam karena masih banyak orang yang belum bebas mengutarakan pendapat bahkan hingga diawasi.
“Kita masih punya banyak problem walau secara umum sejak reformasi jauh, lebih maju di beberapa sektor tapi kita saksikan ada kemunduran juga seperti kemarin ada tempat ibadah yang dirusak,” imbuhnya.
Savic merasa ancaman demokrasi di Indonesia nyata sebab political right masyarakat benar-benar terancam. Ia ragu Indonesia saat ini dalam kondisi terang. Sebab beberapa masyarakat Indonesia masih tidak menganggap political right sebagai hal yang penting.
Bagi kebanyakan masyarakat di Indonesia, menurut Savic memang tidak terlalu memperdulikan political right. Padahal itu merupakan fondasi penting di dalam negara demokrasi.
“Rakyat kita sebagian besar merasa ga butuh itu (political right) karena memang sebagian besar tidak berkepentingan berbicara kecuali nyampe level ecosoc right-nya kena. Tapi kan ketika itu kena sudah terlambat,” tuturnya.
Penulis: Audindra Kusuma
Editor: TB Ahmad Fauzi