Beranda Budaya Novel Andra -Bulan Sabit dan Rosario- Angkat Isu Diskriminasi dan Korupsi

Novel Andra -Bulan Sabit dan Rosario- Angkat Isu Diskriminasi dan Korupsi

Bedah novel Andra Bulan Sabit dan Rosario di Rumah Dunia. (Audindra/BantenNews.co.id)

SERANG – Novel Andra – Bulan Sabit dan Rosario – karya  Qizink La Aziva mencoba memotret cinta dua mahasiswa dengan keyakinan dan ras yang berbeda. Namun lebih jauh dari sekadar romansa, buku tersebut memantik kembali perenungan tentang toleransi, luka kolektif masa lalu, dan batas-batas penghormatan terhadap manusia. Selain isu novel berlatar Banten yang diterbitkan #komentar ini juga menyinggung isu korupsi.

Dalam diskusi yang digelar pada diskusi bedah buku  di Rumah Dunia, Minggu (30/11/2025), tiga narasumber menyoroti relevansi tema yang diangkat Qizink dengan dinamika sosial Indonesia dalam dua dekade terakhir.

Qizink mengatakan pantikan awal membuat novel ini tidak terlepas dari kegelisahannya dengan masih maraknya isu diskriminasi dan intoleransi terhadap kelompok minoritas. Latar belakang para tokoh yang merupakan korban kerusuhan Mei 98 diangkat karena kegelisah dirinya karena adanya pernyataan pejabat negara yang tidak mengakui adanya pemerkosaan massal pada peristiwa kerusuhan Mei 98.

Qizink mengungkapkan bahwa sejumlah peristiwa dalam novel merupakan bagian dari pengalaman pribadinya, terutama ketika berhubungan dengan seseorang yang berbeda keyakinan. Pergulatan itulah yang kemudian ia sandingkan dengan konteks yang lebih besar.

“Novel ini berangkat dari realitas sosial, baik yang saya alami ataupun hasil riset saya,” ujarnya.

Qizink melakukan riset sejarah dari laporan buku, berita, termasuk merunut kembali kerusuhan 1998 dan meningkatnya sentimen terhadap etnis Tionghoa. Ia menilai bahwa potongan sejarah itu masih memiliki gema kuat dalam cara masyarakat memandang perbedaan hari ini.

Selain soal keyakinan, Qizink turut mengangkat korupsi yang masih menjadi persoalan.

“isu korupsi tetap saya angkat karena problem di Banten itu masalah korupsi,” ujarnya.

Nita Andriani, seorang aktivis Gusdurian Banten, menilai novel ini penting sebagai pengingat bahwa toleransi bukan hanya urusan antar-individu, tetapi terkait sejarah panjang diskriminasi dan ketidakadilan.

Baca Juga :  Budayawan Uday Suhada Minta Influencer Stop Ekploitasi Perempuan Baduy

Menurut dia, beberapa karakter dalam novel memang menggambarkan bagaimana masyarakat Indonesia memandang keberagaman.

Baginya, keberanian Qizink memasukkan fragmen kerusuhan 1998 menunjukkan urgensi menghadapi kembali masa-masa kelam itu.

Ia menekankan pentingnya saling memuliakan seluruh manusia tanpa memandang ras, suku, agama, atau cara pandang yang berbeda.

“Saya mengutip kata-kata Gus Dur ‘ketika manusia itu memuliakan manusia lain artinya dia memuliakan pencipatnya tetapi ketika manusia itu menghina manusia lain artinya dia menghina penciptanya’,” tuturnya.

Encep Abdullah dari penerbit #komentar menyebut meski novel ini tidak terlalu ‘berat’ tapi pembaca tetap harus fokus. Menurutnya, Qizink berhasil bermain dengan kata-kata tanpa membuatnya sulit dipahami.
Cara dia mendeskripsikan setiap peristiwa dengan detail tapi tak membosankan merupakan nyawa dari novel ini. “Saya sampai geleng-geleng , kok bisa Mang Qizink sekuat itu bernapas mendeskripsikan sesuatu bahkan sampai berhalaman-halaman,” tuturnya.

Ia menjelaskan bahwa para tokoh dalam novelnya sengaja tidak digambarkan sebagai sosok yang tegas hitam atau putih. Setiap karakter dalam tokoh tetap manusiawi yang memiliki sisi hitam dan putih.

“Penulis menghadirkan tokoh-tokoh yang abu-abu, setiap karakternya memiliki alasan kuat dalam bergerak menghadapi konflik-konfliknya” ujarnya.

Penulis: Audindra Kusuma
Editor: TB Ahmad Fauzi